KESWA
KESEHATAN JIWA
KESEHATAN JIWA POSITIF: TUMBUH SUBUR DAN BERKIBAR
Neraka yang dirasakan di alam baka sebagaimana dinyatakan dalam teologi, adalah tidak lebih buruk dibanding neraka yang kita buat bagi diri kita sendiri di dunia ini dengan kebiasaan karakter-karakter kita di jalan yang salah yang kita tunjukkan.
William James (1890)
PENGEMBANGAN POSITIF MENUJU RENTANGAN HIDUP
Para psikolog sudah lama menaruh perhatian terhadap bagaimana manusia tumbuh dan berkembang dalam masa umur hidupnya. Beberapa perspektif awal, bagaimanapun, didasarkan pada satu gambaran dari manusia sebagai reaksi sederhana pada kejadian yang merupakan tanggapan terhadap stimuli. Lebih lanjut, respon-respon ini dilihat sebagai hasil dari pengaruh keadaan di masa lampau yang mengizinkan ruangan kecil untuk aksi bebas. Perspektif-perspektif yang lebih baru dalam perkembangannya berasumsi bahwa kita lebih aktif berperan dalam membentuk pengembangan kita sendiri. Teori-teori yang lebih baru ini berasumsi bahwa sebagai tambahan reaksi terhadap kejadian, manusia dapat juga mengantisipasi perubahan-perubahan masa yang akan datang dan bersiap-siap menghadapi mereka sebelum tantangan hidup berubah menjadi crisis. Menurut perspektif-perspektif ini, orang-orang tidak hanya memonitor kemajuan terhadap sasaran mereka, tetapi juga memperhatikan seberapa realistik sasaran itu bisa untuk memecahkan kenyataan-kenyataan yang ada. Oleh karena itu, perkembangan orang dewasa adalah suatu proses kontinu tentang mengantisipasi masa depan, menilai dan menaksir lagi sasaran, menyesuaikan terhadap kenyataan-kenyataan yang ada, dan mengatur harapan-harapan agar supaya bisa memelihara rasa kesejahteraan dalam menghadap perubahan keadaan.
Keuletan: Penyesuaian yang Sehat Pada Masa kanak-kanak Yang Sulit
Salah satu dari anggapan awal teori-teori dari perkembangan anak adalah bahwa suatu lingkungan keluarga yang miskin yang tidak terelakkan, menggiring ke arah pengembangan kepribadian orang dewasa yang kurang sehat. Baru-baru ini, beberapa studi sudah menemukan kemiskinan pada lingkungan-lingkungan awal tidak serta merta mengakibatkan permasalahan psikologis bagi anak-anak ketika dewasa. Faktanya, apa yang mengejutkan bahwa beberapa anak yang tumbuh dalam rumah-rumah sangat sulit ternyata menghasilkan penyesuaian yang baik ketika dewasa (Anthony, 1987). Studi ini secara relatif konsisten di dalam menemukan suatu kelompok anak-anak yang tumbuh dengan subur kendati latar belakang yang sulit termasuk kemiskinan kronis, pengabaian orangtua, psychopathology orangtua, pelecehan, dan tinggal di tengah kancah peperangan. Bagaimanapun, penemuan ini seharusnya tidak diambil sebagai bukti bahwa lingkungan-lingkungan awal keluarga tidak penting, tetapi sangat penting. Agaknya, penemuan ini menunjukkan fakta bahwa beberapa anak-anak belajar bagaimana caranya melakukan penyesuaian terhadap lingkungan-lingkungan yang sulit dan lebih sedikit dipengaruhi dibanding anak-anak yang lain. Emily Werner (1995) mencatat bahwa peneliti-peneliti harus mencoba menguraikan anak-anak yang luar biasa kendati lingkungan-lingkungan mereka sebagai seorang yang ulet yang mana mereka sepertinya tahu bagaimana caranya memantul balik dari berbagai kesulitan hidup. Ann Masten dan R-G. Reed (2002) mendefinisikan Resilience (gaya pegas) sebagai suatu "Pola dari adaptasi yang positif dalam menghadapi kekurang-baikan yang signifikan atau resiko" (halaman. 75).
N. Garmezy, A. Masten, dan A. Tellegeri (1984) menggambarkan satu anak yang seperti itu, satu anak laki-laki berusia 11 tahun, yang datang dari suatu rumah yang miskin dengan seorang ayah pecandu alkohol, seorang ibu yang kesusahan, dua saudara laki-laki terlibat dalam kejahatan, dan dua saudara kandung yang lain dengan kebutuhan khusus. Dalam rumah ini, kedua orang tua tertekan dan hidup dengan dibayangi perasaan keputusasaan dan ketakberdayaan. Kendati latar belakang seperti ini, prinsip sekolah menggambarkan anak laki-laki ini sebagai seseorang yang baik dengan orang lain dan disukai oleh setiap orang. Anak laki-laki itu adalah seorang atlit yang baik yang memenangkan beberapa piala-piala, dan sopan, cerdas, dan "seorang anak yang baik."
Werner (1995; Werner & Smith, 1992) mengikuti progress dari anak-anak di Hawaii selama lebih 30 tahun dan juga menemukan anak-anak pengecualian yang muncul dari masa kanak-kanak yang sulit. Di dalam studi nya, dia menemukan anak-anak yang seperti itu, sepertiga anak-anak dari latar belakang yang sulit muncul sebagai orang dewasa yang berkompeten dan peduli. Werner (1995) menggambarkan suatu kelompok karakteristik-karakteristik inti yang dia percaya merupakan tipikal dari anak-anak yang ulet melewati berbagai studi-studi. Pertama-tama, mereka mampu menemukan seorang orangtua asuh pengganti. Kemampuan secara emosional melepaskan dari orangtua yang mengganggu hanya langkah yang pertama. Selanjutnya dalam menjauhkan mereka dari hubungan-hubungan yang tak sehat, anak-anak itu sudah harus bisa menemukan orang lain yang bisa memenuhi peran kepedulian dan orangtua yang mendukung. Kemampuan untuk menemukan orangtua pengganti ini mungkin menjadi bagian hasil dari suatu perangai yang "aktif, sayang, ngemong, baik hati, [membuat mereka] mudah untuk berhubungan" (Werner, 1995, p.82). Sering kali, anak-anak yang juga diatur untuk membentuk suatu hubungan erat dengan sedikitnya satu guru yang bertindak sebagai seorang model peran. Kedua, anak-anak mempunyai keahlian sosial dan keahlian berkomunikasi baik dan sedikitnya mempunyai satu teman dekat. Mereka sepertinya juga mempunyai suatu keinginan untuk membantu yang lain dan memelihara orang lain. Ketiga, anak-anak mempunyai saluran-saluran kreatif, aktivitas, atau kegemaran-kegemaran yang mereka bisa berfokus padanya, ketika hidup menjadi lebih sulit lagi. Kemampuan aktivitas ini memberi mereka suatu rasa kebanggaan dan penguasaan. Keempat, anak-anak ini akan mempercayai bahwa bagaimanapun juga hidup harus direncanakan dengan baik. Dengan kata lain, mereka secara wajar optimis, akan mempunyai satu kontrol internal dalam dirinya, dan suatu konsep diri yang positif. Mereka juga mengembangkan gaya dalam hal menghadapi sesuatu masalah yang mengkombinasikan otonomi dengan kemampuan untuk meminta bantuan bila diperlukan. Terakhir, keluarga-keluarga mereka memegang percakapan keyakinan religius yang berarti dalam waktu yang sulit.
Werner (1995) juga menyebutkan bahwa faktor-faktor keluarga yang mendorong ke arah daya kenyal yang berbeda pada anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan. Untuk anak-anak lelaki yang ulet, faktor-faktor yang penting adalah sebuah rumah tangga dengan struktur dan aturan-aturan yang baik, seorang panutan pria, dan dorongan ekspresif secara emosional. Anak-anak perempuan ulet perlu rumah-rumah yang menekankan pengambilan resiko dan kemerdekaan dan juga memberikan dukungan yang dapat dipercaya dari seorang wanita yang lebih tua. Dia mencatat bahwa suatu pengaruh positif yang khusus pada anak-anak perempuan adalah seorang ibu yang dengan mantap bekerja. Werner juga mencatat bahwa "penyangga perlindungan" ini bisa ditemukan pada anak-anak yang ulet dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan etnis, kelas sosial, dan letak geografi.
Salah satu kesimpulan yang lebih membangkitkan minat pada studi ini bahwa anak-anak yang ulet sepertinya aktip terlibat dalam menciptakan atau menemukan lingkungan-lingkungan dan orang-orang yang akan mendukung dan menguatkan kemampuan-kemampuan mereka. Sehingga, ketika rumah-rumah mereka sendiri tidak menyediakan kualitas seperti itu, anak-anak ulet tidak bereaksi secara pasif kepada hal yang merugikan dan pengabaian tersebut. Lebih dari itu, anak-anak ulet mencari-cari apa yang mereka perlukan dan menghindari sebisa mungkin hubungan-hubungan yang tak sehat; Dengan hal yang sama, E. J. Anthony (1987) mengamati tiga ratus anak-anak orang tua yang memiliki penyakit skisofrenia selama dua belas tahun dan menemukan bahwa sekitar 10 persen dari anak-anak itu menyesuaikan diri dengan baik sekali kendati sebagian orang pada lingkungan-lingkungan rumah sangat bertingkah. Berlawanan dengan teori pemasangan, Anthony juga meyakini bahwa anak-anak ini tumbuh subur karena mereka bisa melepaskan diri secara emsional dari orang tua mereka yang berpenyakit skisofrenia.
Generativas: Memelihara dan Memandu Orang Lain
Sebuah pertumbuhan dari riset sudah melihat mutu serupa dengan altruisme (azas mengutamakan orang lain) yang disebut dengan generativas, suatu istilah yang digunakan oleh Erik Erickson (1950) untuk menguraikan keberhasilan resolusi 7 tahap dari teorinya tentang perkembangan psychosocial. Eric Erikson, Joan Erikson, dan Helen Kivnick (1986) mendefinisikan generativas sebagai "tanggung jawab bagi tiap generasi orang dewasa untuk membawa, memelihara, dan memandu orang-orangnya yang akan menggantikan mereka sebagai orang dewasa, seperti mengembangkan dan memelihara institusi masyarakat dan sumber alamnya yang tanpanya generasi-generasi penggantinya tidak akan mampu untuk bertahan hidup" (halaman. 73-74).
Dan McAdams dan para rekan kerja menjadi ujung tombak dari sebagian besar riset yang lebih baru di dalam bidang ini ( McAdams & de St. Aubin, 1998). Secara umum, studi-studi sudah menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari generativas dihubungkan dengan kesejahteraan yang lebih besar (Ackerman, Zuroff, &Moskowitz, 2000). Seperti diprediksi oleh Erikson, generativas juga dihubungkan dengan faktor-faktor yang lain yang dihubungkan dengan meningkatnya kedewasaan atau pertumbuhan pribadi lebih besar. Sebagai contoh, studi-studi sudah menemukan satu asosiasi antara generativas dan pemakaian penalaran moral yang lebih berprinsip, suatu keseimbangan antara perhatian-perhatian individualistis dan komunal, dan suatu peningkatan pentingnya pengurangan egosentris di usia pertengahan (Mansfield &McAdams,1996; Nauta, Brooks, Johnson, Kahana, & Kahana, 1996; Pratt, Norris, Arnold &Filyer, 1999). Dengan kata lain, generativas dihubungkan dengan banyak ciri yang berpusat kepada konsep tentang hidup yang baik di dalam psikologi positif.
Generativas yang lebih besar juga dihubungkan dengan mempunyai lebih banyak pendidikan dan terjadi paling tidak umur pertengahan (lihat McAdams & de St. Aubin, 1998). Bagaimanapun, wanita-wanita cenderung untuk lebih generatif dibanding laki-laki, mungkin karena wanita-wanita cenderung untuk menunjukkan perhatian empati yang lebih.
Dan McAdams, A. Diamond, E. de St. Aubin, dan E. Mansfield (1997) mengusulkan bagaimana generativas mungkin berhubungan dengan kesejahteraan. Mereka menemukan bahwa identitas-identitas orang-orang yang sangat generatif, seperti yang diungkapkan melalui kisah-kisah hidup mereka, sering secara parsial dibangun dengan suatu catatan komitmen. Suatu tema yang umum di dalam cerita jenis ini adalah berbagai kesulitan dalam hidup dihadapi, kemudian menjurus kepada suatu kepekaan yang lebih besar kepada penderitaan orang lain, dan akhirnya, kepada suatu hasil yang positif yang menguntungkan masyarakat. Jadi, bagian dari identitas diri dari orang yang sangat generatif didasarkan pada kisah-kisah hidup pribadi yang menekankan penanggulangan berbagai kesulitan dan, sebagai hasilnya, tumbuh menjadi pemahaman lebih besar, pengenalan jiwa orang lain, dan rasa kasihan terhadap orang lain. Temuan lain yang sangat menarik adalah orang-orang yang sangat generatif tidak pernah mengalami yang kejadian yang lebih positif atau lebih sedikit stress dibandingkan dengan orang-orang yang kurang generatif. Perbedaannya dalam bagaimana kejadian hidup ditafsirkan. Bagi orang-orang generatif, kejadian hidup positif dan negatif dilihat sebagai kejadian yang membantu perkembangan pengenalan jiwa orang lain, rasa kasihan, dan suatu pemahaman yang lebih dalam terhadap orang lain. Sekali lagi, faktor yang penting bukan jumlah atau jenis-jenis dari kejadian yang ditemukan dalam hidup, tetapi bagaimana orang merasakannya atau membuat kejadian-kejadian itu berarti.
Berkibar dan Tumbuh Subur Saat Usia Kita
Paulus Baltes (1993) mengajukan suatu model adaptasi untuk penuaan itu, seperti keuletan, didasarkan pada bagaimana orang-orang menyesuaikan diri dengan keadaan sulit. Baltes menyebut modelnya optimisasi selektif dengan kompensasi. Menurut modelnya, penyesuaian optimal untuk penuaan tercapai dengan diterimanya kapasitas tertentu yang mengalami kemunduran bersamaan dengan usia dan dengan menemukan cara untuk mengganti kerugian-kerugian mereka yang perlu. Dengan melakukan hal ini, seseorang dapat mempertahankan kesenangan optimum dari aktivitas yang memberi suatu perasaan puas. Baltes (1993) menggunakan contoh berikut untuk menggambarkan gagasannya. Pemain piano klasik Arthur Rubinstein tetap memiliki kinerja dalam usia delapan puluhan tahunnya. Sebagai pemalsuan penuaan, Rubinstein secara realistis tidak bisa mengharapkan untuk bermain dengan tingkatan teknis sama seperti ketika ia bisa lakukan masih muda. Oleh karena itu, ia memilih sedikit potongan-potongan untuk melaksanakan, mempraktekkan lebih sering, dan dengan sengaja melambatkan permainannya tepat sebelum ritme yang lebih cepat untuk kompensasi dan memberi kesan bahwa ia sedang memainkan lebih cepat. Strategi ini memungkinkan dia untuk melanjutkan memainkan musik, sebuah aktivitas yang memberinya kepuasan mendalam.
Laura Carstensen (1992, 1995) juga mengajukan suatu teori yang berkait dengan bagaimana orang-orang bisa aktip mengatur aspek dari hidup mereka yang secara emosional sepanjang renang hidupnya. Carstensen memulai dengan mencatat bahwa orang yang lebih tua sering ditemukan untuk secara teratur memotong peluang untuk kontak sosial, namun juga mereka melaporkan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi atau lebih tinggi dibanding orang-orang yang lebih muda. Jika kita melihat di Bab 3, hubungan sosial positif dihubungkan dengan kesejahteraan, lalu bagaimana mungkin hal ini benar? jawaban Carstensen melibatkan teori selektivitas sosioemosionalnya, yang mengatakan bahwa sasaran utama psikologis merupakan pengembangan dari suatu konsep diri yang positif atau regulasi dari emosi yang tersisa sepanjang hidup Tetapi yang menyolok dari sasaran itu berubah tergantung pada lokasi seseorang dalam siklus hidupnya. Secara rinci, dia percaya bahwa pengarah-pengarah itu untuk mencari-cari informasi dan untuk mengembangkan suatu konsep diri yang positif sangat penting selama masa remaja dan semakin kurang bersamaan dengan usia. Dorongan untuk mencari regulasi emosional, bagaimanapun, sedikit banyaknya kurang penting selama masa remaja dan lalu naik arti pentingnya dengan usia sampai usia tua dominan. Lebih lanjut, Carstensen (1995) berkata bahwa ketika orang-orang memasuki usia tua, mereka mempunyai lebih sedikit dan lebih sedikit teman sebaya yang dapat menyediakan novel dan informasi menarik.
Oleh karena itu, orang-orang "kurang termotivasi untuk terlibat dalam hal yang tidak berarti secara emosional (hanya barangkali jika tidak fungsional) kontak sosial dan akan membuat aneka pilihan sosial berdasar pada potensi untuk penghargaan secara emosional" (halaman 153). Dengan kata lain, untuk orang-orang yang lebih tua, pengurangan-pengurangan di dalam kontak sosial dapat diadaptasi. Proses ini, bagaimanapun, lebih serupa untuk seleksi sosial dibanding kemunduran sosial. Ini berarti bahwa hubungan-hubungan yang mendalam bisa menjadi lebih penting tetapi lebih sedikit banyaknya dengan usia.
Dalam suatu studi yang dirancang untuk menguji sebagian dari gagasan ini, Carstensen dan para rekan kerjanya (Carstensen, Mayr, Nesselrode, &Pasupathi, 2000) menemukan bahwa ketika usia tidak berkaitan dengan frekuensi dari pengalaman-pengalaman yang positif, periode emosional positif yang panjang lebih mungkin ditemukan pada orang-orang yang lebih tua. Dengan kata lain, seberapa sering orang-orang merasakan emosi positif tidak dihubungkan dengan usia, tetapi berapa lama emosi yang positif yang dirasakan itu dihubungkan dengan usia-di sekitar mereka tinggal bertahan lebih lama untuk orang-orang yang lebih tua. Mereka juga menemukan orang-orang tua merasakan pengalaman-pengalaman emosional lebih rumit dan lebih pedih dibanding orang-orang yang lebih muda. Mereka mengusulkan orang-orang tua mempelajari bagaimana caranya mengenali lebih banyak nuansa-nuansa pengalaman secara emosional dan bagaimana caranya mengatur emosi mereka dengan cara-cara yang lebih adaptip. Teori Carstensen pendekatan lain untuk kesejahteraan yang menyatakan bahwa jenis-jenis dari sasaran orang-orang yang dicari dalam hidup yang mendalam, berhubungan dengan isu-isu yang bisa menyolok mata pada tempat-tempat mereka sendiri dalam siklus hidup.
Kebijaksanaan: Apa yang Raja Solomon Punya?
Sepanjang sejarah Barat, "kebijaksanaan" merupakan salah satu terminologi paling sering digunakan untuk menguraikan kedewasaan optimal. Alkitab menunjukkan bahwa Raja Salomo "bijaksana," dan ahli filsafat Yunani berspekulasi selama berabad-abad tentang kebijaksanaan dan bagaimana harusnya hal itu menjadi sasaran hidup yang terakhir. Di masa. lalu, riset para psikolog cenderung untuk menghindari istilah ini oleh karena sifatnya yang sangat abstrak. Meskipun demikian, beberapa peneliti sudah mencoba untuk menguraikan apa yang dimaksud orang-orang mengenai istilah kebijaksanaan (e.g., Sternberg, 1990),
Secara umum, kebijaksanaan menyiratkan suatu hasil yang positif untuk proses-proses pengembangan yang lama. Erik Erikson (1950) melihat kebijaksanaan sebagai hasil dari suatu resolusi sukses dari panggung terakhir perkembangan psychosocial, seorang yang terlibat dalam satu penerimaan tentang hidup sebagaimana dia hidup dan menerima kenyataan ketika mendekati kematian. Ia juga melihatnya sebagai " involved disinvolvement " atau suatu kesanggupan untuk proses hidup dengan suatu sikap tidak terpengaruh yang tenang dari setiap persyaratan bahwa hidup menghasilkan suatu cara yang spesifik. Oleh karena itu, kebijaksanaan bukan sekedar, suatu gudang informasi atau pendapat-pendapat. Lebih dari itu, kebijaksanaan menyiratkan pengetahuan yang bersifat sosial, hubungan antar pribadi, dan psikologis. Kebijaksanaan juga menyiratkan pengetahuan bahwa mungkin sulit bagi kebanyakan orang untuk menyerap. Karenanya, orang orang bijaksana adalah orang yang pergi menuju padanya ketika berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan paling sulit dalam hidup. Seseorang tidak mencari-cari nasehat dari orang bijaksana hanya untuk bertanya kepada mereka tempat terbaik di kota untuk membeli makanan Cina! Kramer (2000) sudah katakan bahwa kebijaksanaan adalah "pengecualian luas dan kedalaman pengetahuan sekitar kondisi-kondisi kehidupan dan urusan manusia" (hal. 85). Clayton Vivian (1982) menyatakan, "Kebijaksanaan adalah ...kemampuan yang memungkinkan setiap individu untuk menyerap sifat manusia, yang bekerja pada prinsip-prinsip pertentangan, paradoks, dan perubahan. Sifat manusia yang digunakan di sini mengacu pada pemahaman diri sendiri dan mengerti orang lain" (page. 316). Paulus Baltes dan Ursula Staudinger (2000) mengambil definisi lebih lanjut dan menyiratkan adanya hubungan dengan etika.
Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan adalah "pengetahuan dengan lingkup yang luar biasa, kedalaman, ukuran, dan keseimbangan ...suatu sinergi dari pikiran dan karakter; yang merupakan satu orkestrasi pengetahuan dan kebaikan" (hal. 123). Mereka juga melihat konsep dari kebijaksanaan adalah kompleks, sangat dibedakan, dan yang dihubungkan dengan maksud-maksud budaya yang berbeda. Mereka bahkan menyatakan bahwa konsep itu bisa sangat rumit bahwa hal itu "bisa di luar metoda-metoda psikologis dan konsep-konsep yang dapat mencapainya" (hal. 123). Dengan kata lain, gagasan kebijaksanaan bisa terlalu kompleks bagi pembatasan-pembatasan yang perlu metode sainsnya. Meskipun begitu, sebagai psikolog-psikolog yang mencoba sesuatu yang baru, mereka sudah mengambil berusaha dan mengerjakan satu rangkaian studi-studi empiris dalam membangun wacana kebijaksanaan.
Meskipun berbagai kesulitan dengan definisi, psikolog-psikolog secara fair yakin tentang apa kebijaksanaan bukan. Poin yang pertama adalah bahwa Wisdom bukan hasil yang tak bisa terelakkan dari usia yang lanjut (Clayton, 1982). setelah mangatakan itu, bagaimanapun, ini juga benar bahwa kebijaksanaan dilihat lebih sering, meski tidak eksklusif, secara person adalah paling tidak berada pada umur pertangahan. Baltes dan Staudinger (2000) bahkan menyatakan bahwa usia yang optimal untuk mencapai kebijaksanaan bisa sekitar usia 60 tahun. Ini juga benar bahwa kebijaksanaan bukan sekedar kecerdasan yang terukur oleh test IQ. Clayton (1982) menunjuk bahwa Test IQ mengukur domain pengetahuan terutama nonsosial dan impersonal (misal, fakta-fakta, kosa kata, kemampuan untuk mengolah benda di dalam ruang dan seterusnya). Kebanyakan psikolog-psikolog berasumsi bahwa kebijaksanaan tidak bisa secara total, dipahami hanya memperhatikan domain kecerdasan nonsosial ini.
Teori-teori Kebijaksanaan
Baltes dan Staudinger (2000) melihat tiga tradisi riset terkait yang menggunakan teori-teori tegas tentang kebijaksanaan. Tradisi yang pertama melibatkan perspektif-perspektif yang memperhatikan ciri kepribadian dan bagaimana mereka bisa dihubungkan dengan kebijaksanaan. Teori Erikson (1950) tentang perkembangan psychosocial adalah satu contoh dari tradisi yang pertama. Tradisi yang kedua memandang kebijaksanaan dalam kaitan dengan istilah teori berpikir postformal dan pemikiran metoda dialektika. Sebagai contoh, Juan Pascual-Leone (1990) dan Gisela Labouvie-Vief (1990) melihat kemampuan untuk berhubungan dengan pertentangan dan paradoks sebagai sentral setiap definisi kebijaksanaan. Keduanya juga menyatakan bahwa kebijaksanaan, bagaimanapun didefinisikan, harus merupakan suatu jenis pemikiran yang lebih kompleks dibanding hanya mampu untuk menggunakan gagasan-gagasan abstrak dan konsep-konsep. Labouve-Vief (1990) percaya bahwa kebijaksanaan harus melibatkan pengintegrasian dari dua wujud pengetahuan: logos dan mythos. Logos adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pemakaian analitis, propositional, dan struktur-struktur formal logik lain. Mythos adalah pengetahuan yang diperoleh melalui suara, naratif, alur cerita, atau dialog. Hal itu diberikan contoh dalam tradisi-tradisi lisan, hubungan sosial, dan banyak wujud dari seni. Mythos adalah suatu jenis dari pengetahuan yang dilekatkan dalam konteks hubungan sosial dan pengalaman-pengalaman sosial. Itu termasuk intuisi dan keterbukaan pada proses-proses tak sadar.
Pascual-Leone (1990) menyarakan tema-tema yang serupa di dalam perspektifnya tentang kebijaksanaan tetapi menambahkan suatu pernyataan teoritis tentang apa yang ia sebut "ultraself" atau "transcendent self" sebagai suatu tanda dari kebijaksanaan. Ultraself operasikan sebagai suatu yang lebih tinggi, lebih mencakup, pusat pengolahan informasi yang mampu mengintegrasikan teori dan proses-proses secara emosional, terutama sekali, cinta dan kepedulian. Dengan cara yang serupa, Deirdre Kramer (2000) melihat kebijaksanaan sebagai suatu wujud dari self-transcendence yang adalah "yang dilepaskan, tetapi mencakup, perhatian terhadap kehidupan sendiri" (hal. 86).
Krarner (2000) juga telah mereview sangat banyak riset tentang kebijaksanaan. Dia melihat kedua unsur yang utama dari kebijaksanaan sebagai keterbukaan yang lebih besar terhadap pengalaman dan “kapasitas untuk merefleksi dan bergulat dengan permasalahan kesulitasn eksistensial hidup " (hal. 99). Salah satu dari kualitas yang lain bahwa dia menemukan di dalam studi-studi tentang kebijaksanaan adalah satu kemampuan orang-orang yang bijaksana untuk menemukan maksud dalam pengalaman-pengalaman hidup positif dan negatif. Kramer percaya bahwa orang-orang yang bijaksana mampu mengubah bentuk pengalaman-pengalaman negatif ke dalam pengalaman-pengalaman kenyataan hidup. Melalui proses ini, mereka bahkan memperlihatkan suatu perasaan tenang yang orang lain tidak punyai. Orang-orang bijaksana juga memiliki suatu sense humor rela berkorban, rendah hati yang mengenali ironi-ironi hidup (Webster, 2003). Suatu studi oleh Ravenna Helson dan Paul Wink (1987) mengajukan ada dua bentuk kebijaksanaan. Pertama kebijaksanaan praktis, yang terdiri dari kemampuan-kemampuan pengecualian seperti ketrampilan-ketrampilan interpersonal yang baik, kejelasan pemikiran, toleransi lebih besar, dan generativas. Bentuk yang kedua mereka menyebut kebijaksanaan transendental, yang mempunyai suatu mutu filosofis atau rohani yang Itu berhubungan dengan batas-batas dari pengetahuan, kompleksitas yang kaya pengalaman manusia, dan suatu perasaan tentang pribadi yang lebih dan aspek individu pengalaman manusia. Kramer juga memandang kebijaksanaan sebagai suatu sumber daya potensial bagi masyarakat. Dia menghimbau masyarakat untuk mengenali bahwa orang-orang bijaksana ada dan untuk menggunakan mereka untuk suatu yang lebih besar.
Tradisi riset yang ketiga dari teori-teori yang tegas melihat kebijaksanaan sebagai suatu contoh yang spesifik dari keunggulan (lihat komentar tentang keunggulan di Bab 7). Di dalam kejadian ini, kebijaksanaan digambarkan sebagai keunggulan di dalam kinerja hidupnya. Di dalam riset mereka belajar tentang kebijaksanaan, Baltes dan Staudinger (2000) menemukannya berguna mengkonsep kebijaksanaan sebagai suatu peristiwa yang punya banyak sisi yang dapat dipahami hanya dengan memperhatikan beberapa prediktor yang berbeda. Ini adalah serupa dengan pertemuan pendekatan yang digunakan dengan kreativitas. Sebagai tambahan, setiap mencari-cari penyebab kebijaksanaan harus mengakui adanya banyak alur dapat menjurus kepada kebijaksanaan. Di dalam kepentingan yang paralel dengan kreativitas, Baltes dan Staudinger juga berasumsi bahwa kebijaksanaan adalah suatu produk gabungan dari orang dan budaya. Kebijaksanaan, oleh karena itu, secara parsial dibawa dalam pengetahuan dan keahlian dari budaya pada suatu waktu yang tepat yang spesifik. Orang-orang bijaksana mengenali dan menggunakan pengetahuan yang berada di sekitar mereka dalam budaya.
Prediktor-prediktor Kebijaksanaan
Studi-studi riset Baltes dan Staudinger (2000) sudah menemukan bahwa kebijaksanaan dapat diprediksi dengan memperhatikan empat kategori umum dari faktor-faktor: kecerdasan, disposisi kepribadian, gaya-gaya kognitif, dan pengalaman-pengalaman hidup (lihat Gambar 8.1).
Temuan mereka yang pertama adalah bahwa semua faktor kecuali usia memberikan kontribusi yang nyata terhadap kebijaksanaan, meski kekuatan setiap sumbangan-sumbangan bervariasi. Sebagai tambahan, prediktor yang signifikan saling berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan kebijaksanaan. Baltes dan Staudinger menyimpulkan bahwa kebijaksanaan secara parsial merupakan kemampuan untuk mengkoordinir atribut kepribadian majemuk dan pengalaman-pengalaman hidup.
Kecerdasan(inteligen (4 skala)
misal., kecerdasan cair, kecerdasan yang mengkristal
penghubung personality-intelligence (17 skala)
misal, kreativitas, gaya kognitif, kecerdasan sosial
Ciri kepribadian (12 skala)
eg., keterbukaan terhadap pengalaman, pertumbuhan pribadi, psychological-daya ingat
Usia (kedewasaan)
Pengalaman hidup
pengalaman hidup umum, pengalaman profesional spesifik
GAMBAR 81
Pola Prediksi Hubungan Kinerja yang berkaitan Kebijaksanaan pada orang Dewasa
Sumber: Dari P Baltes dan U. Staudinger, 'Kebijaksanaan: Suatu metaheuristic… keunggulan." Psikolog Amerika, 55(1), gambar 3, hal.130. Hak cipta 2000 oleh Asosiasi Psikologi Amerika. Dicetak kembali dengan ijin.
Catatan: Persentase mengindikasikan pengaruh bagian. Usia tidak signifikan.
Dalam hal faktor yang spesifik, mereka menemukan bahwa score-score tinggi dalam pengukuran inteligensi adalah prediktor kebijaksanaan yang signifikn (15 persen dari kinerja yang terkait dengan kebijaksanaan). Faktor-faktor ini, bagaimanapun, adalah paling kurang penting. Disposisi kepribadian seperti keterbukaan pengalaman dan psychological-mindedness merupakan prediktor kebijaksanaan yang lebih baik. Jenis pengalaman-pengalaman hidup yang dipunyi orang-orang adalah satu prediktor yang penting dari kinerja yang terkait dengan kebijaksanaan. Mengenai ini, Baltes dan Staudinger melihat psikolog-psikolog klinis sebagai bagian dari studi mereka, mengira bahwa orang-orang yang berhubungan dengan berbagai kesulitan hidup, kompleksitas, dan makna dalam psikoterapi bisa belajar tentang kebijaksanaan dalam perjalannya. Sebenarnya, yang mereka lakukan cenderung untuk mencetak prestasi lebih baik dalam pengujian kebijaksanaan. Akhirnya, pengukuran dari jenis kognitif dan kreativitas menunjukkan hubungan-hubungan yang paling kuat dengan kebijaksanaan. Di antara prediktor yang lebih baik dalam factor ini adalah kreativitas dan gaya-gaya pemikiran "judicial" dan "progresif". Ini menguraikan kemampuan untuk mengevaluasi dan membandingkan isu-isu dan kemampuan untuk menggerakkan di luar aturan-aturan selagi mempertunjukkan suatu toleransi untuk kerancuan secara berturut-turut. Bagi Baltes dan Staudinger, semua ini menyiratkan bahwa kebijaksanaan adalah "metaheuristic"-yang menyiratkan suatu strategi sangat terorgnisir untuk mencari sampai dapat informasi terkait dari sumber majemuk dan mengkombinasikan informasi itu ke dalam solusi-solusi yang mengoptimalkan pengetahuan dan kebaikan. Catat acuan itu kepada kebaikan; itu menyiratkan satu komponen etis kepada kebijaksanaan.
Sementara kebijaksanaan adalah suatu sasaran yang universal, adakah bukti bahwa itu benar-benar meningkatkan kesejahteraan? Suatu studi oleh Ardelt (1997) menemukan bahwa kebijaksanaan berhubungan signifikan dengan kepuasan hidup bagi laki-laki dan perempuan. Dalam studi Ardelt, kebijaksanaan sebenarnya adalah suatu prediktor yang lebih baik bagi kepuasan hidup dibanding keadaan hidup yang objektif seperti kesehatan secara fisik. Meski psikologis meneliti dalam konsep kebijaksanaan adalah dalam tahap awal dari pengembangan, psikologi positif mungkin akan memunculkan suatu minat yang baru akan bidang ini. Riset baru berlanjut hingga selesai, dan pengujian baru tentang kebijaksanaan sedang dikembangkan (lihat Webster, 2003). Kesediaan peneliti-peneliti tertentu untuk berspekulasi dalam wilayah yang sangat abstrak mengatakan kepada suatu minat yang besar dalam mendefinisikan secara ideal salah satu dari dari pengembangan kepribadian yang positif.
KESEHATAN JIWA POSITIF
Dari beberapa prestasi psikologi selama abad yang keduapuluh dan awal dua puluh yang pertama, salah satu yang paling berhasil adalah studi penyakit jiwa dan bagaimana caranya memperlakukannya. Kemajuan di dalam teori dan riset pada sakit jiwa telah disertai oleh bermacam gagasan-gagasan pada suatu kesehatan jiwa positif yang melembaga. Usaha-usaha untuk menguraikan penyesuaian psikologis dimulai pada hari-hari paling awal dari psikologi. William James, sering kali dikutip sebagai "bapak psikologi Amerika," sungguh tertarik akan permasalahan kesehatan jiwa dan terutama dalam negara di luar kesejahteraan (lihat Rathunde, 2001). James menyatakan bahwa orang secara psikologis sehat mempunyai suatu kepribadian yang seimbang baik dan harmonis (1902/1958). Bagaimanapun, bagi banyak orang, gagasan tentang kesehatan jiwa dimulai oleh Freud.
Visi Freud tentang umat manusia adalah visi yang pesimistis. Ia melihat orang-orang sebagai tidak terelakkan terjerat di suatu kemacetan antara kebutuhan-kebutuhan agresi dan seks dan ego yang berorientasi sosial yang terus menerus yang harus di bawah pengendalian. Kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup adalah kompromi-kompromi yang esensial yang meninggalkan suatu indra kecap yang pahit karena kita mengetahui mereka tidak lebih dari dari solusi-solusi yang sempurna. Ia berkata tentang pengejaran kebahagiaan, "Sasaran terhadap sesuatu yang mana asas kenikmatan mendorong kita menjadi bahagia tidak dapat dicapai; namun kita tidak mungkin, tidak bisa tidak, menyerah pada usaha mewujudkannya bagaimanapun juga" (Freud, 1930/1961, hal.94). Konsep dari karakter genital bertindak sebagai model dari kedewasaan bagi Freud. Ketika Freud ditanya apa yang seharusnya bisa dilakukan oleh seorang yang secara mental sehat, ia dengan ringkas tapi jelas menyatakan, "lieben und arbiten" mereka harus mampu "untuk mengasihi dan untuk bekerja." Freud juga mengajukan bahwa kedewasaan ditandai 1)), suatu perhatian yang bersahabat untuk orang lain dan suatu keinginan untuk lakukan sesuatu yang baik untuk masyarakat (Maddi, 1972). Sementara sasaran Freud yang sederhana untuk umat manusia sungguh memerlukan usaha substansiil, mereka tidak berbicara dengan fasih pada berbagai kemungkinan yang terakhir untuk pertumbuhan psikologis dan kesehatan jiwa optimal.
Kebanyakan dari ahli teori yang mengikuti Freud menciptakan model-model lebih optimis untuk kesehatan jiwa positif. Sebenarnya, ada benar-benar sejumlah perspektif-perspektif di kesehatan jiwa positif (lihat Jahoda, 1958; Coan, 1977; Schultz, 1977; Fadiman &Frager, 1994). Hanya sedikit dari perspektif-perspektif yang akan ditinjau di sini. Untuk kejelasan, perspektif-perspektif itu dikelompokkan ke dalam perspektif yang (1) mengasumsikan kebutuhan-kebutuhan bawaan dalam memandu pencarian kesehatan jiwa positif dan mereka yang (2) asumsikan kesehatan jiwa positif adalah suatu produk tentang mengembangkan ciri kepribadian spesifik atau pengembangan dari karakter. Tentu saja, dua pendekatan ini harus tidak dilihat sebagai divisi-divisi yang tegas; lebih dari itu, masing-masing mewakili; menunjukkan suatu penekanan yang relatif.
KESEHATAN JIWA POSITIF SEBAGAI POTENSI-POTENSI BAWAAN
Awal Perumusan-perumusan Psychodynamic
Adler Alfred adalah satu rekan kerja awal Freud. Bertentangan dengan Freud, Adler memfokuskan pada suatu pengejaran naluriah realisasi diri kreatif. Adler percaya bahwa realisasi diri disetir oleh satu bawaan mengejar interaksi-interaksi prosocial dan bahkan rendah hati untuk terhadap orang lain. Istilah yang paling lekat, yang dihubungkan dengan teori Adler tentang kesehatan jiwa optimal adalah Gemeinschaftsgefuhl, suatu kata Jerman yang diciptakan oleh Adler yang tidak memiliki padanan yang tepat di dalam bahasa Inggris. Itu awalnya diterjemahkan sebagai " sosial sense" dan lalu kemudiannya sebagai "interest sosial" dan "social feeling" (Adler, 1964; Ansbacher, 1992). Gemeinschaftsgefuhl adalah suatu perasaan dari suatu hubungan yang mendalam dengan manusia, empati terhadap kondisi manusia lain, dan suatu perasaan altruisme (azas mengutamakan orang lain).
Adler percaya minat sosial bisa menggerakkan seseorang terhadap suatu jenis realisasi diri yang akan tidak terelakkan termasuk empati yang lebih banyak dan rasa kasihan terhadap orang lain. Sebenarnya, Adler percaya bahwa ahli terapi bisa mengatakan jika psikoterapi sedang bekerja atau bukan dengan pengamatan berapa banyak klien termotivasi oleh minat sosial. Semakin banyak minat sosial ada pada klien, semakin baik pengobatan sedang bekerja.
Carl G.Jung adalah juga bagian dari lingkaran dalam dari para rekan kerja Freud. Jung, seperti Adler, percaya bahwa orang-orang menguasai satu potensi bawaan untuk kesehatan jiwa optimal yang perlu untuk diwujudkan. Bagi Jung, kesehatan jiwa optimal ditandai oleh suatu keseimbangan antara unsur-unsur dari kepribadian, satu keterbukaan kepada pesan-pesan dari suatu tingkatan tidak sadar yang lebih dalam, dan suatu perasaan yang tumbuh dari kerohanian (Jung, 1964, 1965).
CarlRogers dan Pribadi yang Berfungsi Secara Penuh
Carl Rogers mengembangkan teorinya tentang kesehatan jiwa dari pengalaman-pengalamannya sebagai seorang psychotherapist. Salah satu dari daya dorong yang utama dari pendekatannya untuk psikoterapi untuk menunjukkan cara yang orang-orang dimungkinkan untuk mengembangkan pendekatan mereka sendiri yang unik kepada hidup dalam konteks suatu hubungan psychotherapeutic yang mendukung.
Rogers mulai dengan mengasumsikan bahwa kita mempunyai satu bawaan yang diperlukan untuk mengembangkan potensi-potensi kita. Rogers menyebut kebutuhan ini, Kecenderungan aktualisasi diri (Rogers, 1959). Ia menganggap bahwa memberi keadaan yang benar, orang-orang dapat menemukan cara untuk memenuhi potensi-potensi mereka yang juga adalah pemenuhan tanggung jawab secara sosial dan secara pribadi. Masalahnya, menurut Rogers, adalah bahwa banyak orang kehilangan hubungan dengan dorongan-dorongan bawaan mereka terhadap aktualisasi diri. Proses kehilangan hubungan dengan kecenderungan aktualisasi diri kita sendiri mulai ketika kita menolak pengalaman-pengalaman dari kita sendiri diri sendiri dan dunia untuk mendapatkan penerimaan bersyarat dari orang-orang lain. Oleh karena itu, proses aktualisasi diri dimotori oleh kesadaran diri sendiri yang jujur. Rogers percaya bahwa ketika orang-orang ada di dalam lingkungan-lingkungan yang digambarkan oleh cinta tanpa syarat, pemahaman empathic, dan keaslian, lalu mereka dapat tumbuh secara psikologis terhadap potensi-potensi mereka yang paling penuh (lihat Firestone, Firestone, &Catlett, 2003).
Pribadi Berfungsi Secara Penuh
Bagi Rogers, definisi penyesuaian psikologis terletak di gagasan di mana kesehatan jiwa ada ketika semua pengalaman yang relevan dari orang itu dapat terintegrasi ke dalam suatu konsep diri yang koheren dan fleksibel. Ketika orang-orang menumbuhkan potensi-potensi mereka yang paling penuh, beberapa ciri-ciri yang dapat dikenal menandai adanya kemajuan mereka. Rogers memilih istilah "orang berfungsi penuh" bagi seseorang yang mencapai ideal ini (Rogers, 1961). Tiga ukuran-ukuran utama dan dua pelengkap menandai orang yang berfungsi secara penuh: (1) keterbukaan pengalaman, (2) eksistensial hidup, dan (3) kepercayaan dalam pengalaman-pengalaman organismic yang dimiliki (yaitu., sensasi-sensasi, pengalaman-pengalaman fisiologis, atau "saluran" perasaan kita). Tiga hal ini mengakibatkan (4) suatu perasaan kebebasan dan (5) kreativitas yang meningkat.
Dengan "keterbukaan pengalaman," Rogers menyarankan suatu kepribadian yang menyadari stimuli internal dan eksternal, di mana penggunaan-penggunaan dari mekanisme pertahanan terpelihara minimum. Sebenarnya, Rogers menghipotesakan bahwa mungkin untuk hidup tanpa mekanisme pertahanan. Satu konsekuensi dari keterbukaan ini adalah bahwa pengalaman-pengalaman tidak enak dan menyenangkan memungkinkn akses yang sama pada kesadaran. Seseorang harus mempunyai suatu perasaan dasar yang cukup diri sendiri sehingga dia tidak akan diliputi oleh emosi. Oleh karena itu, meski Rogers tidak secara rinci menyebutkan itu sebagai suatu ukuran, orang yang berfungsi penuh akan juga memperlihatkan ketabahan dan keberanian substansiil.
Kriteria kedua, eksistensial hidup menyiratkan bahwa orang berfungsi penuh menyukai pengalaman yang datang dari kehidupan sebagaimana hidup pada saat ini. Ukuran ini adalah serupa dengan perkataan kaum tua bahwa orang harus "berhenti dan mencium bunga mawar." Itu menyiratkan suatu orientasi proses yang kuat pada hidup. Itu menyiratkan bahwa Ia harus hidup sebagai suatu cairan dan perasaan dinamis dari kesadaran dari pengalaman-pengalaman yang ada, memutuskan apa yang akan dilakukan dengan pengalaman-pengalaman, pengambilan tindakan, dan berjalan terus untuk merencanakan pengalaman yang berikutnya (catat persamaannya dengan teori aliran di Bab 4).
Orang-orang yang terbuka pada moment adalah juga terbuka bagi isyarat yang datang dari kenyataan mereka yang fisiologis yang mereka mempercayai mereka sendiri yang organismic merasakan. Orang yang berfungsi penuh menyadari, kepercayaan-kepercayaan, dan nilai nalurinya, intuisi, dan firasat. Karena orang yang berfungsi secara penuh tidak bertahan, terbuka bagi pengalaman pada saat itu, dan berkeinginan mengalami hidup sebagai suatu proses, jelas nyata bahwa ia atau dia akan juga mengalami suatu perasaan kebebasan. Akhirnya, karena orang yang berfungsi secara penuh secara terus menerus mengadaptasikan kepada pengalaman-pengalaman yang baru, suatu derajat tingkat tertentu dari kreativitas pada adaptasi tersebut kelihatannya perlu. Kreativitas di dalam perasaan Rogers berarti suatu pendekatan ke arah hidup yang terbuka bagi cara penyelesaian masalah yang tidak biasa dan unik. Itu juga menyiratkan suatu kesediaan tertantang oleh pengalaman-pengalaman yang baru. Oleh karena itu, Rogers berkata bahwa jika orang-orang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman mereka yang berkesinambungan dan segera pada cara tertentu, lalu kebutuhan bawaan mereka untuk ktualisasi diri akan muncul dan memotivasi perilaku.
Hidup sebagai Pribadi yang Berfungsi Secara Penuh
Seperti apa sesungguhnya orang yang berfungsi secara penuh? Rogers (1961) menyatakan beberapa petunjuk ketika ia menyatakan,
Nampak berarti bahwa individu yang bergerak ke arah, dengan sadar dan menerima; proses yang ia dalam hati dan sebenarnya adalah.... Ia tidak berusaha menjadi lebih dari dia, dengan perasaan penjaga kegelisahan; rasa tidak aman atau pasrah yang muluk-muluk. Ia tidak berusaha menjadi kurang dari ia, dengan perasaan penjaga rasa bersalah atau depresiasi diri. Ia terus meningkatkan mendengar ruang kecil yang terdalam dari mahluk secara emosional dan fisiologisnya, dan menemukan dirinya terus meningkat keinginan, dengan ketelitian dan kedalaman yang lebih besar, diri sendiri yang ia paling sungguh (hal. 175-176).
Gerakan itu adalah terhadap diri sendiri, arah, keterbukaan pengalaman, penerimaan dari orang lain, dan kepercayaan di dalam diri sendiri. Gerakan itu bukanlah terhadap setiap status tertentu. Agaknya, merupakan suatu cara pendekatan dan bahkan pengalaman-pengalaman menyongsong hidup. Lagi, kata-kata Rogers's (1961),
Nampak bagiku bahwa hidup yang baik bukanlah setiap status yang tetap. Tidak, di dalam penilaianku, suatu keadaan dari kebaikan, atau kepuasan, atau surga, atau kebahagiaan. Ia bukan suatu kondisi di mana individu disesuaikan, atau dipenuhi, atau diwujudkan. Menggunakan terminologi psikologis, itu bukan suatu keadaan reduksi panduan, atau tegangan, pengurangan, atau homeostasis (hal. 185-186).
Rogers kelihatannya menguraikan seseorang yang dapat menyeimbangkan rasionalitas dan intuisi tetapi yang menunjukkan suatu pilihan yang sedikit untuk gaya yang intuitif tentang pemahaman dunia. Gagasannya tentang kesehatan jiwa optimal meminjam dari gambaran dari seniman yang kreatif ( lihat "orang yang kreatif" di Bab 7).
Abraham Maslow dan Actualisasi Diri
Teori yang berikutnya untuk dibahas adalah Teori Abraham Maslow Aktulisasi diri. Secara umum, aktualisasi diri mengacu pada proses tentang berbuat sesuai dengan potensi-potensinya. Meski teori Maslow tentang aktulisasi diri adalah salah satu dari teori-teori paling terkenal dari pengembangan kepribadian, ini juga secara luas salah pengertian bahkan dalam psikologi. Sebagai contoh, teori nya tidak ada hubungannya dengan memanjakan diri sendiri atau keasyikan dengan diri sendiri aslinya, Maslow (1954) menyatakan perwujudan diri itu "bisa dengan bebas digambarkan sebagai penggunaan dan eksploitasi bakat-bakat, kapasitas, kemampuan-kemampuan" (hal. 200).
Studi-studi awal Orang yang Mengaktualisasi Diri
Menurut Maslow, aktualisasi diri tidak menguraikan suatu keadaan tetapi lebih satu proses yang berkesinambungan dari pengembangan. Ia mulai dengan suatu pertanyaan tentang bagaimana sebagian orang kelihatannya melakukan penyesuaian secara luar biasa dengan baik. Untuk mendekati pertanyaan ini, ia mulai mencari-cari lembaran-lembaran dari orang-orang kesehatan mental optimal yang menunjukkan tanda-tanda memenuhi potensi-potensi mereka. Siapa ini orang-orang yang memberikan contoh proses aktualisasi diri? Mereka tidak, di dalam setiap perasaan, orang kebanyakan tidak jalan. Untuk mendapat suatu rasa untuk sifat pilihan dari calon-calonnya, satu hal hanya harus memperhatikan bagaimana beberapa figur sejarah di dalam sistem klasifikasi ini. Bagi Maslow "secara wajar yakin mereka adalah pengaktualisasi diri" mencakup Abraham Lincoln (hanya dalam tahun terakhir) dan Thomas Jefferson; "kelompok sangat mungkin" mencakup Eleanor Roosevelt dan Albert Einstein; Beethoven dan Freud di dalam kelompok "parsial"; sedangkan George Washington Carver dan Albert Schweitzer ia tempatkan dalam kelompok "potensial". Sebagai tambahan dalam mempelajari figur-figur publik untuk bukti aktualisasi diri, orang-orang terkenal dalam sejarah, dan kenalan-kenalan, Maslow juga menyaring tiga ribu siswa perguruan tinggi. Di dalam kelompok ini, ia hanya temukan seseorang yang cocok dengan ukuran-ukurannya dan orang tersebut hanya dalam ktegori "yang mungkin". Ia menyimpulkan aktualisasi diri itu "bukan mungkin di dalam masyarakat kita bagi orang muda, orang-orang yang berkembang" (Maslow, 1954, hal.200).
Ia percaya bahwa seseorang perlu beberapa pengalaman hidup sebelum ia atau dia bisa dipertimbangkan sebagai aktualisasi diri. Kemudian, Maslow akan menaksir itu kurang dari 1 persen dari populasi orang dewasa bisa disebut orang-orang yang aktualisasi diri. Maslow mengembangkan definisinya tentang aktualisasi diri melalui satu proses iteratif. Yang pertama ia memilih subjek, lalu ia mengevaluasi orang-orang, dan berikutnya ia menyesuaikan definisi asli berdasar pada evaluasi yang pertama. Lalu diikuti dengan memilih kelompok yang berikutnya ia mengevaluasi berdasar pada definisi yang ditinjau kembali, dan seterusnya. Menggunakan proses ini, Maslow's (1954) lebih memperluas penjelasan aktualisasi diri, " sebagai orang-orang yang memenuhi diri mereka dan untuk sedang lakukan terbaik yang mereka bisa berbuat melakukan, mengingatkan kita nasihat Nietzsche, 'Jadi apa engkau!' Mereka adalah orang-orang yang sudah berkembang atau mengembangkan sepenuhnya kualitas moral yang mana mereka mampu. Kemampuan-kemampuan ini bisa seluruh jenis atau yang idiosyncratic, sehingga diri sendiri di dalam aktualisasi diri harus tidak terlalu selera individualistic" [tambahan huruf miring] (hal. 201). Bagian dari kutipan akhir ini ditulis dengan huruf miring untuk menekankan itu, benar dari awalnya, Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan serapan diri atau individualisme berlebihan. Kemudian, banyak para interpreter Maslow melupakan ini.
Hirarki Maslow Tentang Kebutuhan-kebutuhan Bawaan
Begitu Maslow telah mengenali contoh-contoh dari orang yang mengaktualisasi diri, ia mulai mengembangkan suatu teori dari pengembangan kepribadian yang akan menjelaskan bagaimana orang-orang itu menempuh cara mereka. Ia mengusulkan suatu teori yang didasarkan pada satu gagasan secara relatif umum di dalam psikologi waktu itu - pengujian kebutuhan dasar.
Maslow (1954) pada awalnya menggambarkan lima kebutuhan dasar manusia yang harus dijumpai dalam urutan orang-orang merasa terpenuhi dalam hidup. Secara grafis, Maslow kenalkan kebutuhan-kebutuhan ini berupa suatu piramida (Gambar 8.2). Bentuk piramid menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah lebih menyebar dan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi lebih kecil dan lebih dengan mudah diliputi oleh pengaruh dari kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah.
Maslow mengasumsikan lima kebutuhan dasar yang bersifat bawaan.
1. Phisiologis. Orang-orang perlu untuk memiliki kebutuhan dasar mereka mendapatkan makanan, tempat perlindungan, kenyamanan, dan kebebasan dari penyakit.
2. Keselamatan dan keamanan. Orang-orang perlu untuk percaya bahwa mereka secara relatif menyelamatkan dari kejahatan secara fisik dan kekacauan masyarakat dan bahwa mereka mempunyai beberapa derajat tingkat dari kendali atas masa depan mereka sendiri.
3. Cinta dan rasa memiliki. Orang-orang perlu untuk merasakan koneksi-koneksi kepada dunia yang sosial dan perlu untuk merasa bahwa mereka dicintai dan yang dibelai karena mereka adalah sebagai individu.
4. Mengagumi diri sendiri. Orang-orang perlu merasakan suatu perasaan kemampuan dan prestasi dan bahwa mereka terhormat dan dihargai oleh orang lain di dalam hidup mereka.
GAMBAR 82
Hirarki Kebutuhan dasar Maslow
5. Actualisasi diri. Orang-orang mempunyai suatu kebutuhan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka yang unik.
Maslow (1954) juga mendalilkan prasyarat-prasyarat tertentu yang penting bagi kepuasan kebutuhan dasar: kebebasan-kebebasan spesifik (yaitu., kebebasan untuk bicara, ekspresi, pemeriksaan) dan prinsip etis yang penting (yaitu., keadilan, kewajaran, jujur), ketertiban). Ia juga percaya bahwa perlu untuk mengetahui dan memahami bentuk suatu detik, hirarki kebutuhan yng lebih kecil yang sinergis dan saling berhubungan dengan hirarki basic-needs. Akhirnya, Maslow menyatakan sebagian orang itu mempunyai suatu kebutuhan dasar untuk ekspresi aesthetic. Untuk ini orang-orang (seperti, seniman-seniman kreatif), kegagalan itu untuk mencukupi kebutuhan mereka untuk kreativitas dan kecantikan menimbulkan perasaan bosan, kebosanan, dan tidak berarti.
Maslow percaya bahwa empat pertama kebutuhan harus dijumpai di suatu arena dengan urutan relatif. Bagaimanapun, adalah tidak perlu untuk mendapati masing-masing kebutuhan secara penuh sebelum berjalan terus untuk perhatian-perhatian dari kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya. Untuk ilustrasi, Maslow (1954) menyatakan bahwa seseorang mungkin telah mencukupi 85 persen dari kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 70 persen dari keselamatan, 50 persen kebutuhan-kebutuhan pemilikan, 40 persen dari kebutuhan kebanggaan diri, dan 10 persen kebutuhan aktualisasi diri.
Motivasi Menurut Maslow
Empat langkah adalah adalah juga didasarkan pada apa yang Maslow sebutkan keperluan defisit atau D-needs. Jika D-needs itu tidak dijumpai, lalu kita termotivasi oleh suatu perasaan bahwa kita kekurangan kualitas yang penting bagi penyesuaian dasar psikologis. Dalam hal ini, kita kekurangan perasaan yang positif dari diri sendiri, suatu perasaan bahwa kita dicintai, atau suatu rasa aman yang memungkinkan optimisme untuk masa depan. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak dijumpai dengan memuaskan, maka kepribadian pondasi dasar dan penyesuaian belum dibangun. Begitu satu merasa secara relatif aman, terhubung dengn orang lain, dicintai, dan punya suatu rasa hormat yang baik sebagai manusia, lalu kebutuhan akan aktualisasi diri menjadi lebih penting. Bagaimanapun, kebutuhan ini menciptakan suatu tegangan baru, yang datang dari perbedaan antara siapa diri kita dan siapa kita yang kita dapat bayangkan. Karena kita mengakui adanya potensi-potensi kita tidak direalisir, jarak ini antara kenyataan dan potensi yang menghasilkan suatu keinginan untuk memenuhi potensi kita.
Istilah Maslow untuk kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan-kebutuhan sekeliling berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya atau B-needs. Sebagian dari B-needs itu adalah kebenaran, keadilan, kecantikan, keseluruhan, kesempurnaan, suka melucu, penuh arti, dan kebaikan (Maslow, 1968, 1971). Satu karakteristik yang unik dari orang-orang actualisasi diri adalah mereka termotivasi oleh B-needs lebih dari yang D-needs. Maslow (1954) berkata, "Hal-hal kita tidak lagi bekerja keras di dalam perasaan yang biasa, mereka berkembang." (hal. 211). Catat bahwa aktualisasi diri dan B-needs muncul di dalam seseorang yang telah menemukan adaptasi dan penyesuaian sehat secara relatif. Oleh karena itu, bagian dari tegangan yang diciptakan oleh kebutuhan akan perwujudan diri datang dari suatu konflik antara keamanan kebahagiaan yang ada dan resiko dari perubahan. Maslow melihat pilihan sebagai suatu konflik yang umum jenis ini dalam hidup yang menggambarkan suatu prinsip yang umum: tegangan antara keamanan melawan pertumbuhan. Bagi Maslow, orang aktualisasi diri adalah, yang ditandai oleh suatu kesediaan untuk mengambil resiko keamanan yang dikenal dan nyaman untuk pertumbuhan yang potensial bahwa dapat datang dari mendatangi suatu tantangan yang baru. Oleh karena itu, ia percaya bahwa percaya bahwa orang-orang aktualisasi diri dimotivasi oleh B-needs. Mereka adalah, dalam beberapa hal menarik terhadap suatu masa depan yang mungkin untuk sendiri yang di dalam banyak cara yang digambarkan oleh kebutuhan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka yang unik seperti juga kebutuhan untuk kebenaran, keadilan, kecantikan, dan B-needs lain.
Orang-orang yang mengaktualisasi juga mengakui, menerima, dan boleh benar-benar; menganut, tegangan-tegangan yang diciptakan oleh B-needs yang tidak tercukupi. Respon mereka kepada tegangan-tegangan ini adalah, lebih sering daripada tidak, kepada resiko keamanan yang ada yang terbiasa dan untuk mengambil resiko kegagalan yang mungkin dalam percobaan untuk mewujudkan potensi-potensi mereka.
Maslow juga mengetahui bahwa beberapa orang menolak perubahan pertumbuhan pribadi karena mereka takut akan orang lain di dalam hidup mereka tidak akan menerima perubahan itu. Maslow (1971) menyebut ketakutan ini, kompleks Jonah (Yunus). Nelson Mandela berbicara tentang ketakutan ini di dalam sambutan pelantikan presiden di Afrika Selatan.
Ketakutan kita yang terdalam bukanlah karena kita tidak cukup. Ketakutan kita yang terdalam adalah bahwa kita luar biasa tangguh. Itu adalah cahaya kita, bukan kegelapan kita yang menakutkan kita. Kita tanya diri kita sendiri, "Siapa Saya yang cemerlang, berbakat dan menakjubkan?" Sebenarnya, siapakah engkau yang tidak? Anda adalah seorang Anak Allah. Permainan kecilmu tidak melayani dunia. Tidak ada apapun meringankan penyusutan sehingga orang lain tidak akan merasakan tidak kuat di sekitar Anda.... Dan ketika kita biarkan kilauan kita yang ringan, kita tanpa disadari memberi ijin orang lain untuk lakukan yang sama.
Seperti yang tersebut sebelumnya, Maslow mengira bahwa hanya persentase kecil dari populasi itu bisa mengatur untuk mengaktualisasi diri sendiri di suatu dasar yang konsisten. Bagi mereka yang memanagenya, akan jadi apa mereka?
Ciri kepribadian Orang-orang yang Mengaktualisasi Diri
Di dalam studi dari aktualisasi diri sendiri, orang-orang, Maslow meringkas lima belas ciri kepribadian yang ia percaya adalah karakteristik dari perilaku mereka. Tidak setiap orang yang mengaktualisasi diri yang ia pelajari menunjukkan semua lima belas tanda-tanda ini. Oleh karena itu, daftar itu adalah suatu alat yang bermanfaat, bukan suatu daftar yang kaku, selama satu pemahaman betapa orang-orang aktualisasi diri saling berhubungan dengan dunia dan sendiri. Maslow juga mengenal bahwa subjeknya tidaklah sempurna. Mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari rasa bersalah, ketertarikan, kesedihan, atau konflik. Ia merasakan memaksa untuk mengingatkan orang-orang bahwa subjeknya "bukanlah para malaikat." Sebagian terbesar, bagaimanapun, mereka bebas dari ketertarikan-ketertarikan penderita sakit saraf dan konflik-konflik. Dengan pemikiran ini, Maslow (1954) perkenalkan daftar lima belas ciri kepribadian orang-orang yang aktualisasi diri. Untuk jelasnya, lima belas ciri dikelompokkan ke dalam empat kategori.
Pertama adalah keterbukaan pengalaman.
1. Persepsi lebih efisien dari kenyataan dan hubungan-hubungan lebih nyaman dengannya.
Maslow percaya bahwa orang yang mengaktualisasi diri sendiri mempunyai suatu perasaan yang tajam untuk penipuan, ketidak jujuran, dan kedangkalan pada orang lain. Karena mereka sudah mantap dengan banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kekaguman diri, mereka lebih mampu merasa dunia tanpa penyimpangan pengubahan dari berbagai keinginan mereka sendiri, harapan-harapan, dan ketertarikan-ketertarikan. Mereka dapat memandang dunia tanpa ilusi-ilusi yang positif atau penyimpangan pertahanan.
2. Penerimaan (diri sendiri, orang lain, alam)
Itu mengikuti secara logika bahwa orang yang mengaktualisasi diri perlu juga menjadi lebih baik mampu mendeteksi penipuan, kelemahan, dan kekurangan-kekurangan di dalam sendiri. Sikap terhadap kekurangan-kekurangan ini membedakan orang-orang orang yang mengaktualisasi diri Maslow. Ia berkata, "Individu kita yang sehat menemukannya mungkin untuk menerima diri mereka dan sifat mereka sendiri tanpa perasaan sedih karena gagal atau keluhan atau, sebetulnya, bahkan tanpa banyak berpikir tentang perihal. Mereka dapat menerima sifat manusia mereka sendiri dengan gaya orang yang tabah, dengan semua kekurangannya, dengan semua pertentangannya dari gambaran ideal tanpa perhatian perasaan riil" (1954, hal. 206-7). Ia juga berkata bahwa orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kurangnya kepasrahan. Ketika mereka merasa berdosa atau dysphoric, itu adalah dari pengenalan pertentangan antara apa dan apa yng seharusnya bisa.Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan yang tidak bisa dipisahkan di dalam umat manusia dan dengan sangat sadar akan berapa jauh pendek kita jatuh.
3. Kesegaran apresiasi yang berlanjut
Karakteristik ini menguraikan satu keterbukaan hidup, kegembiraan, dan suatu terima kasih atas moment pengalamani. Menurut Maslow ( 1954), orang-orang aktualisasi diri mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk menghargai berulang-ulang, baru saja dan dengan naif, barang-barang dasar kehidupan dengan perasaan kagum, kesenangan, keajaiban, dan bahkan perasaan sangat gembira, bagaimanapun basi pengalaman-pengalaman ini mungkin telah menjadi untuk orang lain" (hal. 214-215).
4. Spontanitas
Maslow juga menemukan subjeknya lebih spontan dibanding orang lain. Mereka menunjukkan perilaku yang ditandai oleh kesederhanaan, kewajaran, dan kurangnya kepalsuan. Ini tidak berarti perilaku mereka diluar kebiasaan, dan itu pasti bukan sangat menuruti kata hati. Ringkasnya, Maslow bermaksud subjeknya itu bukan congkak maupun membual tapi lancar dan alami.
5. Daya kreasi
Maslow menunjuk kreativitas sebagai proses lebih dari produk. Kreativitas ia lihat sebagai keaslian, dayatemu, kemampuan beradaptasi, dan spontanitas di dalam solusi permasalahan besar dan yang kecil.
6. Pengalaman batin; perasaan yang luas
Maslow (1976) kemudian menguraikan moment ringkas tenang kesadaran yang dipertinggi dan emotionalas positif kuat sebagai "pengalaman puncak." (Mereka akan dibahas secara lebih detil di Bab 10.)
Kategori yang kedua, adalah otonomi.
7. Otonomi; kemerdekaan budaya dan lingkungan
Subjek Maslow juga sepertinya secara relatif disatukan. Mereka mengagumi diri sendiri tidak didasarkan pada bagaimana pemikiran orang lain tentang mereka atau secara kultural menggambarkan kriteria untuk sukses. Mereka bisa tinggal stabil, bahkan berbahagia dan tenang, di tengah-tengah frustrasi-frustrasi dan sesuatu yang bikin stress. Mereka menemukan kepuasan-kepuasan yang hakiki dibanding bersandar keadaan luar yang merespon dari orang lain.
8. Kualitas Detasemen; kebutuhan untuk privasi
Maslow percaya bahwa subjeknya menunjukkan suatu kecenderungan yang jelas untuk menyenangi kesunyian dan privasi. Mereka tidaklah yang tak ramah, tetapi mereka tidak memerlukan orang-orang di sekitar mereka terus menerus. Di dalam konteks ini, Maslow juga menyebutkan suatu kemampuan yang lebih besar untuk berkonsentrasi dan suatu kualitas detasemen yang memungkinkan mereka untuk "tetap di atas pertempuran, tetap tenang, tak terganggu oleh huru-hara" ( 1954, hal.212).
9. Daya tahan kulturisasi
Maslow (1954) memulai uraiannya dari kriteria ini dengan kalimat sangat propokatif, "orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak menyesuaikan dengan baik" (hal. 224). Dengan ini, ia bermaksud bahwa subjeknya sepertinya akan mampu memelihara suatu detasemen tertentu dari budaya di mana mereka tinggal. Mereka tinggal di masyarakat mereka, biasanya tanpa pemberontakan atau ketidakbiasaan yang terus menerus, hanya sikap-sikap dan kepercayaan-kepercayaan bagian dalam yang tidak dibentuk dan dikuasai oleh pesan-pesan dari masyarakat itu. Mereka mampu memperhatikan budaya mereka lebih secara obyektif dan melihat pertentangan-pertentangan, ketidakkonsistenan, dan kesalahan yang eksis.
KESEHATAN JIWA POSITIF: TUMBUH SUBUR DAN BERKIBAR
Neraka yang dirasakan di alam baka sebagaimana dinyatakan dalam teologi, adalah tidak lebih buruk dibanding neraka yang kita buat bagi diri kita sendiri di dunia ini dengan kebiasaan karakter-karakter kita di jalan yang salah yang kita tunjukkan.
William James (1890)
PENGEMBANGAN POSITIF MENUJU RENTANGAN HIDUP
Para psikolog sudah lama menaruh perhatian terhadap bagaimana manusia tumbuh dan berkembang dalam masa umur hidupnya. Beberapa perspektif awal, bagaimanapun, didasarkan pada satu gambaran dari manusia sebagai reaksi sederhana pada kejadian yang merupakan tanggapan terhadap stimuli. Lebih lanjut, respon-respon ini dilihat sebagai hasil dari pengaruh keadaan di masa lampau yang mengizinkan ruangan kecil untuk aksi bebas. Perspektif-perspektif yang lebih baru dalam perkembangannya berasumsi bahwa kita lebih aktif berperan dalam membentuk pengembangan kita sendiri. Teori-teori yang lebih baru ini berasumsi bahwa sebagai tambahan reaksi terhadap kejadian, manusia dapat juga mengantisipasi perubahan-perubahan masa yang akan datang dan bersiap-siap menghadapi mereka sebelum tantangan hidup berubah menjadi crisis. Menurut perspektif-perspektif ini, orang-orang tidak hanya memonitor kemajuan terhadap sasaran mereka, tetapi juga memperhatikan seberapa realistik sasaran itu bisa untuk memecahkan kenyataan-kenyataan yang ada. Oleh karena itu, perkembangan orang dewasa adalah suatu proses kontinu tentang mengantisipasi masa depan, menilai dan menaksir lagi sasaran, menyesuaikan terhadap kenyataan-kenyataan yang ada, dan mengatur harapan-harapan agar supaya bisa memelihara rasa kesejahteraan dalam menghadap perubahan keadaan.
Keuletan: Penyesuaian yang Sehat Pada Masa kanak-kanak Yang Sulit
Salah satu dari anggapan awal teori-teori dari perkembangan anak adalah bahwa suatu lingkungan keluarga yang miskin yang tidak terelakkan, menggiring ke arah pengembangan kepribadian orang dewasa yang kurang sehat. Baru-baru ini, beberapa studi sudah menemukan kemiskinan pada lingkungan-lingkungan awal tidak serta merta mengakibatkan permasalahan psikologis bagi anak-anak ketika dewasa. Faktanya, apa yang mengejutkan bahwa beberapa anak yang tumbuh dalam rumah-rumah sangat sulit ternyata menghasilkan penyesuaian yang baik ketika dewasa (Anthony, 1987). Studi ini secara relatif konsisten di dalam menemukan suatu kelompok anak-anak yang tumbuh dengan subur kendati latar belakang yang sulit termasuk kemiskinan kronis, pengabaian orangtua, psychopathology orangtua, pelecehan, dan tinggal di tengah kancah peperangan. Bagaimanapun, penemuan ini seharusnya tidak diambil sebagai bukti bahwa lingkungan-lingkungan awal keluarga tidak penting, tetapi sangat penting. Agaknya, penemuan ini menunjukkan fakta bahwa beberapa anak-anak belajar bagaimana caranya melakukan penyesuaian terhadap lingkungan-lingkungan yang sulit dan lebih sedikit dipengaruhi dibanding anak-anak yang lain. Emily Werner (1995) mencatat bahwa peneliti-peneliti harus mencoba menguraikan anak-anak yang luar biasa kendati lingkungan-lingkungan mereka sebagai seorang yang ulet yang mana mereka sepertinya tahu bagaimana caranya memantul balik dari berbagai kesulitan hidup. Ann Masten dan R-G. Reed (2002) mendefinisikan Resilience (gaya pegas) sebagai suatu "Pola dari adaptasi yang positif dalam menghadapi kekurang-baikan yang signifikan atau resiko" (halaman. 75).
N. Garmezy, A. Masten, dan A. Tellegeri (1984) menggambarkan satu anak yang seperti itu, satu anak laki-laki berusia 11 tahun, yang datang dari suatu rumah yang miskin dengan seorang ayah pecandu alkohol, seorang ibu yang kesusahan, dua saudara laki-laki terlibat dalam kejahatan, dan dua saudara kandung yang lain dengan kebutuhan khusus. Dalam rumah ini, kedua orang tua tertekan dan hidup dengan dibayangi perasaan keputusasaan dan ketakberdayaan. Kendati latar belakang seperti ini, prinsip sekolah menggambarkan anak laki-laki ini sebagai seseorang yang baik dengan orang lain dan disukai oleh setiap orang. Anak laki-laki itu adalah seorang atlit yang baik yang memenangkan beberapa piala-piala, dan sopan, cerdas, dan "seorang anak yang baik."
Werner (1995; Werner & Smith, 1992) mengikuti progress dari anak-anak di Hawaii selama lebih 30 tahun dan juga menemukan anak-anak pengecualian yang muncul dari masa kanak-kanak yang sulit. Di dalam studi nya, dia menemukan anak-anak yang seperti itu, sepertiga anak-anak dari latar belakang yang sulit muncul sebagai orang dewasa yang berkompeten dan peduli. Werner (1995) menggambarkan suatu kelompok karakteristik-karakteristik inti yang dia percaya merupakan tipikal dari anak-anak yang ulet melewati berbagai studi-studi. Pertama-tama, mereka mampu menemukan seorang orangtua asuh pengganti. Kemampuan secara emosional melepaskan dari orangtua yang mengganggu hanya langkah yang pertama. Selanjutnya dalam menjauhkan mereka dari hubungan-hubungan yang tak sehat, anak-anak itu sudah harus bisa menemukan orang lain yang bisa memenuhi peran kepedulian dan orangtua yang mendukung. Kemampuan untuk menemukan orangtua pengganti ini mungkin menjadi bagian hasil dari suatu perangai yang "aktif, sayang, ngemong, baik hati, [membuat mereka] mudah untuk berhubungan" (Werner, 1995, p.82). Sering kali, anak-anak yang juga diatur untuk membentuk suatu hubungan erat dengan sedikitnya satu guru yang bertindak sebagai seorang model peran. Kedua, anak-anak mempunyai keahlian sosial dan keahlian berkomunikasi baik dan sedikitnya mempunyai satu teman dekat. Mereka sepertinya juga mempunyai suatu keinginan untuk membantu yang lain dan memelihara orang lain. Ketiga, anak-anak mempunyai saluran-saluran kreatif, aktivitas, atau kegemaran-kegemaran yang mereka bisa berfokus padanya, ketika hidup menjadi lebih sulit lagi. Kemampuan aktivitas ini memberi mereka suatu rasa kebanggaan dan penguasaan. Keempat, anak-anak ini akan mempercayai bahwa bagaimanapun juga hidup harus direncanakan dengan baik. Dengan kata lain, mereka secara wajar optimis, akan mempunyai satu kontrol internal dalam dirinya, dan suatu konsep diri yang positif. Mereka juga mengembangkan gaya dalam hal menghadapi sesuatu masalah yang mengkombinasikan otonomi dengan kemampuan untuk meminta bantuan bila diperlukan. Terakhir, keluarga-keluarga mereka memegang percakapan keyakinan religius yang berarti dalam waktu yang sulit.
Werner (1995) juga menyebutkan bahwa faktor-faktor keluarga yang mendorong ke arah daya kenyal yang berbeda pada anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan. Untuk anak-anak lelaki yang ulet, faktor-faktor yang penting adalah sebuah rumah tangga dengan struktur dan aturan-aturan yang baik, seorang panutan pria, dan dorongan ekspresif secara emosional. Anak-anak perempuan ulet perlu rumah-rumah yang menekankan pengambilan resiko dan kemerdekaan dan juga memberikan dukungan yang dapat dipercaya dari seorang wanita yang lebih tua. Dia mencatat bahwa suatu pengaruh positif yang khusus pada anak-anak perempuan adalah seorang ibu yang dengan mantap bekerja. Werner juga mencatat bahwa "penyangga perlindungan" ini bisa ditemukan pada anak-anak yang ulet dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan etnis, kelas sosial, dan letak geografi.
Salah satu kesimpulan yang lebih membangkitkan minat pada studi ini bahwa anak-anak yang ulet sepertinya aktip terlibat dalam menciptakan atau menemukan lingkungan-lingkungan dan orang-orang yang akan mendukung dan menguatkan kemampuan-kemampuan mereka. Sehingga, ketika rumah-rumah mereka sendiri tidak menyediakan kualitas seperti itu, anak-anak ulet tidak bereaksi secara pasif kepada hal yang merugikan dan pengabaian tersebut. Lebih dari itu, anak-anak ulet mencari-cari apa yang mereka perlukan dan menghindari sebisa mungkin hubungan-hubungan yang tak sehat; Dengan hal yang sama, E. J. Anthony (1987) mengamati tiga ratus anak-anak orang tua yang memiliki penyakit skisofrenia selama dua belas tahun dan menemukan bahwa sekitar 10 persen dari anak-anak itu menyesuaikan diri dengan baik sekali kendati sebagian orang pada lingkungan-lingkungan rumah sangat bertingkah. Berlawanan dengan teori pemasangan, Anthony juga meyakini bahwa anak-anak ini tumbuh subur karena mereka bisa melepaskan diri secara emsional dari orang tua mereka yang berpenyakit skisofrenia.
Generativas: Memelihara dan Memandu Orang Lain
Sebuah pertumbuhan dari riset sudah melihat mutu serupa dengan altruisme (azas mengutamakan orang lain) yang disebut dengan generativas, suatu istilah yang digunakan oleh Erik Erickson (1950) untuk menguraikan keberhasilan resolusi 7 tahap dari teorinya tentang perkembangan psychosocial. Eric Erikson, Joan Erikson, dan Helen Kivnick (1986) mendefinisikan generativas sebagai "tanggung jawab bagi tiap generasi orang dewasa untuk membawa, memelihara, dan memandu orang-orangnya yang akan menggantikan mereka sebagai orang dewasa, seperti mengembangkan dan memelihara institusi masyarakat dan sumber alamnya yang tanpanya generasi-generasi penggantinya tidak akan mampu untuk bertahan hidup" (halaman. 73-74).
Dan McAdams dan para rekan kerja menjadi ujung tombak dari sebagian besar riset yang lebih baru di dalam bidang ini ( McAdams & de St. Aubin, 1998). Secara umum, studi-studi sudah menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari generativas dihubungkan dengan kesejahteraan yang lebih besar (Ackerman, Zuroff, &Moskowitz, 2000). Seperti diprediksi oleh Erikson, generativas juga dihubungkan dengan faktor-faktor yang lain yang dihubungkan dengan meningkatnya kedewasaan atau pertumbuhan pribadi lebih besar. Sebagai contoh, studi-studi sudah menemukan satu asosiasi antara generativas dan pemakaian penalaran moral yang lebih berprinsip, suatu keseimbangan antara perhatian-perhatian individualistis dan komunal, dan suatu peningkatan pentingnya pengurangan egosentris di usia pertengahan (Mansfield &McAdams,1996; Nauta, Brooks, Johnson, Kahana, & Kahana, 1996; Pratt, Norris, Arnold &Filyer, 1999). Dengan kata lain, generativas dihubungkan dengan banyak ciri yang berpusat kepada konsep tentang hidup yang baik di dalam psikologi positif.
Generativas yang lebih besar juga dihubungkan dengan mempunyai lebih banyak pendidikan dan terjadi paling tidak umur pertengahan (lihat McAdams & de St. Aubin, 1998). Bagaimanapun, wanita-wanita cenderung untuk lebih generatif dibanding laki-laki, mungkin karena wanita-wanita cenderung untuk menunjukkan perhatian empati yang lebih.
Dan McAdams, A. Diamond, E. de St. Aubin, dan E. Mansfield (1997) mengusulkan bagaimana generativas mungkin berhubungan dengan kesejahteraan. Mereka menemukan bahwa identitas-identitas orang-orang yang sangat generatif, seperti yang diungkapkan melalui kisah-kisah hidup mereka, sering secara parsial dibangun dengan suatu catatan komitmen. Suatu tema yang umum di dalam cerita jenis ini adalah berbagai kesulitan dalam hidup dihadapi, kemudian menjurus kepada suatu kepekaan yang lebih besar kepada penderitaan orang lain, dan akhirnya, kepada suatu hasil yang positif yang menguntungkan masyarakat. Jadi, bagian dari identitas diri dari orang yang sangat generatif didasarkan pada kisah-kisah hidup pribadi yang menekankan penanggulangan berbagai kesulitan dan, sebagai hasilnya, tumbuh menjadi pemahaman lebih besar, pengenalan jiwa orang lain, dan rasa kasihan terhadap orang lain. Temuan lain yang sangat menarik adalah orang-orang yang sangat generatif tidak pernah mengalami yang kejadian yang lebih positif atau lebih sedikit stress dibandingkan dengan orang-orang yang kurang generatif. Perbedaannya dalam bagaimana kejadian hidup ditafsirkan. Bagi orang-orang generatif, kejadian hidup positif dan negatif dilihat sebagai kejadian yang membantu perkembangan pengenalan jiwa orang lain, rasa kasihan, dan suatu pemahaman yang lebih dalam terhadap orang lain. Sekali lagi, faktor yang penting bukan jumlah atau jenis-jenis dari kejadian yang ditemukan dalam hidup, tetapi bagaimana orang merasakannya atau membuat kejadian-kejadian itu berarti.
Berkibar dan Tumbuh Subur Saat Usia Kita
Paulus Baltes (1993) mengajukan suatu model adaptasi untuk penuaan itu, seperti keuletan, didasarkan pada bagaimana orang-orang menyesuaikan diri dengan keadaan sulit. Baltes menyebut modelnya optimisasi selektif dengan kompensasi. Menurut modelnya, penyesuaian optimal untuk penuaan tercapai dengan diterimanya kapasitas tertentu yang mengalami kemunduran bersamaan dengan usia dan dengan menemukan cara untuk mengganti kerugian-kerugian mereka yang perlu. Dengan melakukan hal ini, seseorang dapat mempertahankan kesenangan optimum dari aktivitas yang memberi suatu perasaan puas. Baltes (1993) menggunakan contoh berikut untuk menggambarkan gagasannya. Pemain piano klasik Arthur Rubinstein tetap memiliki kinerja dalam usia delapan puluhan tahunnya. Sebagai pemalsuan penuaan, Rubinstein secara realistis tidak bisa mengharapkan untuk bermain dengan tingkatan teknis sama seperti ketika ia bisa lakukan masih muda. Oleh karena itu, ia memilih sedikit potongan-potongan untuk melaksanakan, mempraktekkan lebih sering, dan dengan sengaja melambatkan permainannya tepat sebelum ritme yang lebih cepat untuk kompensasi dan memberi kesan bahwa ia sedang memainkan lebih cepat. Strategi ini memungkinkan dia untuk melanjutkan memainkan musik, sebuah aktivitas yang memberinya kepuasan mendalam.
Laura Carstensen (1992, 1995) juga mengajukan suatu teori yang berkait dengan bagaimana orang-orang bisa aktip mengatur aspek dari hidup mereka yang secara emosional sepanjang renang hidupnya. Carstensen memulai dengan mencatat bahwa orang yang lebih tua sering ditemukan untuk secara teratur memotong peluang untuk kontak sosial, namun juga mereka melaporkan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi atau lebih tinggi dibanding orang-orang yang lebih muda. Jika kita melihat di Bab 3, hubungan sosial positif dihubungkan dengan kesejahteraan, lalu bagaimana mungkin hal ini benar? jawaban Carstensen melibatkan teori selektivitas sosioemosionalnya, yang mengatakan bahwa sasaran utama psikologis merupakan pengembangan dari suatu konsep diri yang positif atau regulasi dari emosi yang tersisa sepanjang hidup Tetapi yang menyolok dari sasaran itu berubah tergantung pada lokasi seseorang dalam siklus hidupnya. Secara rinci, dia percaya bahwa pengarah-pengarah itu untuk mencari-cari informasi dan untuk mengembangkan suatu konsep diri yang positif sangat penting selama masa remaja dan semakin kurang bersamaan dengan usia. Dorongan untuk mencari regulasi emosional, bagaimanapun, sedikit banyaknya kurang penting selama masa remaja dan lalu naik arti pentingnya dengan usia sampai usia tua dominan. Lebih lanjut, Carstensen (1995) berkata bahwa ketika orang-orang memasuki usia tua, mereka mempunyai lebih sedikit dan lebih sedikit teman sebaya yang dapat menyediakan novel dan informasi menarik.
Oleh karena itu, orang-orang "kurang termotivasi untuk terlibat dalam hal yang tidak berarti secara emosional (hanya barangkali jika tidak fungsional) kontak sosial dan akan membuat aneka pilihan sosial berdasar pada potensi untuk penghargaan secara emosional" (halaman 153). Dengan kata lain, untuk orang-orang yang lebih tua, pengurangan-pengurangan di dalam kontak sosial dapat diadaptasi. Proses ini, bagaimanapun, lebih serupa untuk seleksi sosial dibanding kemunduran sosial. Ini berarti bahwa hubungan-hubungan yang mendalam bisa menjadi lebih penting tetapi lebih sedikit banyaknya dengan usia.
Dalam suatu studi yang dirancang untuk menguji sebagian dari gagasan ini, Carstensen dan para rekan kerjanya (Carstensen, Mayr, Nesselrode, &Pasupathi, 2000) menemukan bahwa ketika usia tidak berkaitan dengan frekuensi dari pengalaman-pengalaman yang positif, periode emosional positif yang panjang lebih mungkin ditemukan pada orang-orang yang lebih tua. Dengan kata lain, seberapa sering orang-orang merasakan emosi positif tidak dihubungkan dengan usia, tetapi berapa lama emosi yang positif yang dirasakan itu dihubungkan dengan usia-di sekitar mereka tinggal bertahan lebih lama untuk orang-orang yang lebih tua. Mereka juga menemukan orang-orang tua merasakan pengalaman-pengalaman emosional lebih rumit dan lebih pedih dibanding orang-orang yang lebih muda. Mereka mengusulkan orang-orang tua mempelajari bagaimana caranya mengenali lebih banyak nuansa-nuansa pengalaman secara emosional dan bagaimana caranya mengatur emosi mereka dengan cara-cara yang lebih adaptip. Teori Carstensen pendekatan lain untuk kesejahteraan yang menyatakan bahwa jenis-jenis dari sasaran orang-orang yang dicari dalam hidup yang mendalam, berhubungan dengan isu-isu yang bisa menyolok mata pada tempat-tempat mereka sendiri dalam siklus hidup.
Kebijaksanaan: Apa yang Raja Solomon Punya?
Sepanjang sejarah Barat, "kebijaksanaan" merupakan salah satu terminologi paling sering digunakan untuk menguraikan kedewasaan optimal. Alkitab menunjukkan bahwa Raja Salomo "bijaksana," dan ahli filsafat Yunani berspekulasi selama berabad-abad tentang kebijaksanaan dan bagaimana harusnya hal itu menjadi sasaran hidup yang terakhir. Di masa. lalu, riset para psikolog cenderung untuk menghindari istilah ini oleh karena sifatnya yang sangat abstrak. Meskipun demikian, beberapa peneliti sudah mencoba untuk menguraikan apa yang dimaksud orang-orang mengenai istilah kebijaksanaan (e.g., Sternberg, 1990),
Secara umum, kebijaksanaan menyiratkan suatu hasil yang positif untuk proses-proses pengembangan yang lama. Erik Erikson (1950) melihat kebijaksanaan sebagai hasil dari suatu resolusi sukses dari panggung terakhir perkembangan psychosocial, seorang yang terlibat dalam satu penerimaan tentang hidup sebagaimana dia hidup dan menerima kenyataan ketika mendekati kematian. Ia juga melihatnya sebagai " involved disinvolvement " atau suatu kesanggupan untuk proses hidup dengan suatu sikap tidak terpengaruh yang tenang dari setiap persyaratan bahwa hidup menghasilkan suatu cara yang spesifik. Oleh karena itu, kebijaksanaan bukan sekedar, suatu gudang informasi atau pendapat-pendapat. Lebih dari itu, kebijaksanaan menyiratkan pengetahuan yang bersifat sosial, hubungan antar pribadi, dan psikologis. Kebijaksanaan juga menyiratkan pengetahuan bahwa mungkin sulit bagi kebanyakan orang untuk menyerap. Karenanya, orang orang bijaksana adalah orang yang pergi menuju padanya ketika berjuang dengan pertanyaan-pertanyaan paling sulit dalam hidup. Seseorang tidak mencari-cari nasehat dari orang bijaksana hanya untuk bertanya kepada mereka tempat terbaik di kota untuk membeli makanan Cina! Kramer (2000) sudah katakan bahwa kebijaksanaan adalah "pengecualian luas dan kedalaman pengetahuan sekitar kondisi-kondisi kehidupan dan urusan manusia" (hal. 85). Clayton Vivian (1982) menyatakan, "Kebijaksanaan adalah ...kemampuan yang memungkinkan setiap individu untuk menyerap sifat manusia, yang bekerja pada prinsip-prinsip pertentangan, paradoks, dan perubahan. Sifat manusia yang digunakan di sini mengacu pada pemahaman diri sendiri dan mengerti orang lain" (page. 316). Paulus Baltes dan Ursula Staudinger (2000) mengambil definisi lebih lanjut dan menyiratkan adanya hubungan dengan etika.
Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan adalah "pengetahuan dengan lingkup yang luar biasa, kedalaman, ukuran, dan keseimbangan ...suatu sinergi dari pikiran dan karakter; yang merupakan satu orkestrasi pengetahuan dan kebaikan" (hal. 123). Mereka juga melihat konsep dari kebijaksanaan adalah kompleks, sangat dibedakan, dan yang dihubungkan dengan maksud-maksud budaya yang berbeda. Mereka bahkan menyatakan bahwa konsep itu bisa sangat rumit bahwa hal itu "bisa di luar metoda-metoda psikologis dan konsep-konsep yang dapat mencapainya" (hal. 123). Dengan kata lain, gagasan kebijaksanaan bisa terlalu kompleks bagi pembatasan-pembatasan yang perlu metode sainsnya. Meskipun begitu, sebagai psikolog-psikolog yang mencoba sesuatu yang baru, mereka sudah mengambil berusaha dan mengerjakan satu rangkaian studi-studi empiris dalam membangun wacana kebijaksanaan.
Meskipun berbagai kesulitan dengan definisi, psikolog-psikolog secara fair yakin tentang apa kebijaksanaan bukan. Poin yang pertama adalah bahwa Wisdom bukan hasil yang tak bisa terelakkan dari usia yang lanjut (Clayton, 1982). setelah mangatakan itu, bagaimanapun, ini juga benar bahwa kebijaksanaan dilihat lebih sering, meski tidak eksklusif, secara person adalah paling tidak berada pada umur pertangahan. Baltes dan Staudinger (2000) bahkan menyatakan bahwa usia yang optimal untuk mencapai kebijaksanaan bisa sekitar usia 60 tahun. Ini juga benar bahwa kebijaksanaan bukan sekedar kecerdasan yang terukur oleh test IQ. Clayton (1982) menunjuk bahwa Test IQ mengukur domain pengetahuan terutama nonsosial dan impersonal (misal, fakta-fakta, kosa kata, kemampuan untuk mengolah benda di dalam ruang dan seterusnya). Kebanyakan psikolog-psikolog berasumsi bahwa kebijaksanaan tidak bisa secara total, dipahami hanya memperhatikan domain kecerdasan nonsosial ini.
Teori-teori Kebijaksanaan
Baltes dan Staudinger (2000) melihat tiga tradisi riset terkait yang menggunakan teori-teori tegas tentang kebijaksanaan. Tradisi yang pertama melibatkan perspektif-perspektif yang memperhatikan ciri kepribadian dan bagaimana mereka bisa dihubungkan dengan kebijaksanaan. Teori Erikson (1950) tentang perkembangan psychosocial adalah satu contoh dari tradisi yang pertama. Tradisi yang kedua memandang kebijaksanaan dalam kaitan dengan istilah teori berpikir postformal dan pemikiran metoda dialektika. Sebagai contoh, Juan Pascual-Leone (1990) dan Gisela Labouvie-Vief (1990) melihat kemampuan untuk berhubungan dengan pertentangan dan paradoks sebagai sentral setiap definisi kebijaksanaan. Keduanya juga menyatakan bahwa kebijaksanaan, bagaimanapun didefinisikan, harus merupakan suatu jenis pemikiran yang lebih kompleks dibanding hanya mampu untuk menggunakan gagasan-gagasan abstrak dan konsep-konsep. Labouve-Vief (1990) percaya bahwa kebijaksanaan harus melibatkan pengintegrasian dari dua wujud pengetahuan: logos dan mythos. Logos adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pemakaian analitis, propositional, dan struktur-struktur formal logik lain. Mythos adalah pengetahuan yang diperoleh melalui suara, naratif, alur cerita, atau dialog. Hal itu diberikan contoh dalam tradisi-tradisi lisan, hubungan sosial, dan banyak wujud dari seni. Mythos adalah suatu jenis dari pengetahuan yang dilekatkan dalam konteks hubungan sosial dan pengalaman-pengalaman sosial. Itu termasuk intuisi dan keterbukaan pada proses-proses tak sadar.
Pascual-Leone (1990) menyarakan tema-tema yang serupa di dalam perspektifnya tentang kebijaksanaan tetapi menambahkan suatu pernyataan teoritis tentang apa yang ia sebut "ultraself" atau "transcendent self" sebagai suatu tanda dari kebijaksanaan. Ultraself operasikan sebagai suatu yang lebih tinggi, lebih mencakup, pusat pengolahan informasi yang mampu mengintegrasikan teori dan proses-proses secara emosional, terutama sekali, cinta dan kepedulian. Dengan cara yang serupa, Deirdre Kramer (2000) melihat kebijaksanaan sebagai suatu wujud dari self-transcendence yang adalah "yang dilepaskan, tetapi mencakup, perhatian terhadap kehidupan sendiri" (hal. 86).
Krarner (2000) juga telah mereview sangat banyak riset tentang kebijaksanaan. Dia melihat kedua unsur yang utama dari kebijaksanaan sebagai keterbukaan yang lebih besar terhadap pengalaman dan “kapasitas untuk merefleksi dan bergulat dengan permasalahan kesulitasn eksistensial hidup " (hal. 99). Salah satu dari kualitas yang lain bahwa dia menemukan di dalam studi-studi tentang kebijaksanaan adalah satu kemampuan orang-orang yang bijaksana untuk menemukan maksud dalam pengalaman-pengalaman hidup positif dan negatif. Kramer percaya bahwa orang-orang yang bijaksana mampu mengubah bentuk pengalaman-pengalaman negatif ke dalam pengalaman-pengalaman kenyataan hidup. Melalui proses ini, mereka bahkan memperlihatkan suatu perasaan tenang yang orang lain tidak punyai. Orang-orang bijaksana juga memiliki suatu sense humor rela berkorban, rendah hati yang mengenali ironi-ironi hidup (Webster, 2003). Suatu studi oleh Ravenna Helson dan Paul Wink (1987) mengajukan ada dua bentuk kebijaksanaan. Pertama kebijaksanaan praktis, yang terdiri dari kemampuan-kemampuan pengecualian seperti ketrampilan-ketrampilan interpersonal yang baik, kejelasan pemikiran, toleransi lebih besar, dan generativas. Bentuk yang kedua mereka menyebut kebijaksanaan transendental, yang mempunyai suatu mutu filosofis atau rohani yang Itu berhubungan dengan batas-batas dari pengetahuan, kompleksitas yang kaya pengalaman manusia, dan suatu perasaan tentang pribadi yang lebih dan aspek individu pengalaman manusia. Kramer juga memandang kebijaksanaan sebagai suatu sumber daya potensial bagi masyarakat. Dia menghimbau masyarakat untuk mengenali bahwa orang-orang bijaksana ada dan untuk menggunakan mereka untuk suatu yang lebih besar.
Tradisi riset yang ketiga dari teori-teori yang tegas melihat kebijaksanaan sebagai suatu contoh yang spesifik dari keunggulan (lihat komentar tentang keunggulan di Bab 7). Di dalam kejadian ini, kebijaksanaan digambarkan sebagai keunggulan di dalam kinerja hidupnya. Di dalam riset mereka belajar tentang kebijaksanaan, Baltes dan Staudinger (2000) menemukannya berguna mengkonsep kebijaksanaan sebagai suatu peristiwa yang punya banyak sisi yang dapat dipahami hanya dengan memperhatikan beberapa prediktor yang berbeda. Ini adalah serupa dengan pertemuan pendekatan yang digunakan dengan kreativitas. Sebagai tambahan, setiap mencari-cari penyebab kebijaksanaan harus mengakui adanya banyak alur dapat menjurus kepada kebijaksanaan. Di dalam kepentingan yang paralel dengan kreativitas, Baltes dan Staudinger juga berasumsi bahwa kebijaksanaan adalah suatu produk gabungan dari orang dan budaya. Kebijaksanaan, oleh karena itu, secara parsial dibawa dalam pengetahuan dan keahlian dari budaya pada suatu waktu yang tepat yang spesifik. Orang-orang bijaksana mengenali dan menggunakan pengetahuan yang berada di sekitar mereka dalam budaya.
Prediktor-prediktor Kebijaksanaan
Studi-studi riset Baltes dan Staudinger (2000) sudah menemukan bahwa kebijaksanaan dapat diprediksi dengan memperhatikan empat kategori umum dari faktor-faktor: kecerdasan, disposisi kepribadian, gaya-gaya kognitif, dan pengalaman-pengalaman hidup (lihat Gambar 8.1).
Temuan mereka yang pertama adalah bahwa semua faktor kecuali usia memberikan kontribusi yang nyata terhadap kebijaksanaan, meski kekuatan setiap sumbangan-sumbangan bervariasi. Sebagai tambahan, prediktor yang signifikan saling berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan kebijaksanaan. Baltes dan Staudinger menyimpulkan bahwa kebijaksanaan secara parsial merupakan kemampuan untuk mengkoordinir atribut kepribadian majemuk dan pengalaman-pengalaman hidup.
Kecerdasan(inteligen (4 skala)
misal., kecerdasan cair, kecerdasan yang mengkristal
penghubung personality-intelligence (17 skala)
misal, kreativitas, gaya kognitif, kecerdasan sosial
Ciri kepribadian (12 skala)
eg., keterbukaan terhadap pengalaman, pertumbuhan pribadi, psychological-daya ingat
Usia (kedewasaan)
Pengalaman hidup
pengalaman hidup umum, pengalaman profesional spesifik
GAMBAR 81
Pola Prediksi Hubungan Kinerja yang berkaitan Kebijaksanaan pada orang Dewasa
Sumber: Dari P Baltes dan U. Staudinger, 'Kebijaksanaan: Suatu metaheuristic… keunggulan." Psikolog Amerika, 55(1), gambar 3, hal.130. Hak cipta 2000 oleh Asosiasi Psikologi Amerika. Dicetak kembali dengan ijin.
Catatan: Persentase mengindikasikan pengaruh bagian. Usia tidak signifikan.
Dalam hal faktor yang spesifik, mereka menemukan bahwa score-score tinggi dalam pengukuran inteligensi adalah prediktor kebijaksanaan yang signifikn (15 persen dari kinerja yang terkait dengan kebijaksanaan). Faktor-faktor ini, bagaimanapun, adalah paling kurang penting. Disposisi kepribadian seperti keterbukaan pengalaman dan psychological-mindedness merupakan prediktor kebijaksanaan yang lebih baik. Jenis pengalaman-pengalaman hidup yang dipunyi orang-orang adalah satu prediktor yang penting dari kinerja yang terkait dengan kebijaksanaan. Mengenai ini, Baltes dan Staudinger melihat psikolog-psikolog klinis sebagai bagian dari studi mereka, mengira bahwa orang-orang yang berhubungan dengan berbagai kesulitan hidup, kompleksitas, dan makna dalam psikoterapi bisa belajar tentang kebijaksanaan dalam perjalannya. Sebenarnya, yang mereka lakukan cenderung untuk mencetak prestasi lebih baik dalam pengujian kebijaksanaan. Akhirnya, pengukuran dari jenis kognitif dan kreativitas menunjukkan hubungan-hubungan yang paling kuat dengan kebijaksanaan. Di antara prediktor yang lebih baik dalam factor ini adalah kreativitas dan gaya-gaya pemikiran "judicial" dan "progresif". Ini menguraikan kemampuan untuk mengevaluasi dan membandingkan isu-isu dan kemampuan untuk menggerakkan di luar aturan-aturan selagi mempertunjukkan suatu toleransi untuk kerancuan secara berturut-turut. Bagi Baltes dan Staudinger, semua ini menyiratkan bahwa kebijaksanaan adalah "metaheuristic"-yang menyiratkan suatu strategi sangat terorgnisir untuk mencari sampai dapat informasi terkait dari sumber majemuk dan mengkombinasikan informasi itu ke dalam solusi-solusi yang mengoptimalkan pengetahuan dan kebaikan. Catat acuan itu kepada kebaikan; itu menyiratkan satu komponen etis kepada kebijaksanaan.
Sementara kebijaksanaan adalah suatu sasaran yang universal, adakah bukti bahwa itu benar-benar meningkatkan kesejahteraan? Suatu studi oleh Ardelt (1997) menemukan bahwa kebijaksanaan berhubungan signifikan dengan kepuasan hidup bagi laki-laki dan perempuan. Dalam studi Ardelt, kebijaksanaan sebenarnya adalah suatu prediktor yang lebih baik bagi kepuasan hidup dibanding keadaan hidup yang objektif seperti kesehatan secara fisik. Meski psikologis meneliti dalam konsep kebijaksanaan adalah dalam tahap awal dari pengembangan, psikologi positif mungkin akan memunculkan suatu minat yang baru akan bidang ini. Riset baru berlanjut hingga selesai, dan pengujian baru tentang kebijaksanaan sedang dikembangkan (lihat Webster, 2003). Kesediaan peneliti-peneliti tertentu untuk berspekulasi dalam wilayah yang sangat abstrak mengatakan kepada suatu minat yang besar dalam mendefinisikan secara ideal salah satu dari dari pengembangan kepribadian yang positif.
KESEHATAN JIWA POSITIF
Dari beberapa prestasi psikologi selama abad yang keduapuluh dan awal dua puluh yang pertama, salah satu yang paling berhasil adalah studi penyakit jiwa dan bagaimana caranya memperlakukannya. Kemajuan di dalam teori dan riset pada sakit jiwa telah disertai oleh bermacam gagasan-gagasan pada suatu kesehatan jiwa positif yang melembaga. Usaha-usaha untuk menguraikan penyesuaian psikologis dimulai pada hari-hari paling awal dari psikologi. William James, sering kali dikutip sebagai "bapak psikologi Amerika," sungguh tertarik akan permasalahan kesehatan jiwa dan terutama dalam negara di luar kesejahteraan (lihat Rathunde, 2001). James menyatakan bahwa orang secara psikologis sehat mempunyai suatu kepribadian yang seimbang baik dan harmonis (1902/1958). Bagaimanapun, bagi banyak orang, gagasan tentang kesehatan jiwa dimulai oleh Freud.
Visi Freud tentang umat manusia adalah visi yang pesimistis. Ia melihat orang-orang sebagai tidak terelakkan terjerat di suatu kemacetan antara kebutuhan-kebutuhan agresi dan seks dan ego yang berorientasi sosial yang terus menerus yang harus di bawah pengendalian. Kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup adalah kompromi-kompromi yang esensial yang meninggalkan suatu indra kecap yang pahit karena kita mengetahui mereka tidak lebih dari dari solusi-solusi yang sempurna. Ia berkata tentang pengejaran kebahagiaan, "Sasaran terhadap sesuatu yang mana asas kenikmatan mendorong kita menjadi bahagia tidak dapat dicapai; namun kita tidak mungkin, tidak bisa tidak, menyerah pada usaha mewujudkannya bagaimanapun juga" (Freud, 1930/1961, hal.94). Konsep dari karakter genital bertindak sebagai model dari kedewasaan bagi Freud. Ketika Freud ditanya apa yang seharusnya bisa dilakukan oleh seorang yang secara mental sehat, ia dengan ringkas tapi jelas menyatakan, "lieben und arbiten" mereka harus mampu "untuk mengasihi dan untuk bekerja." Freud juga mengajukan bahwa kedewasaan ditandai 1)), suatu perhatian yang bersahabat untuk orang lain dan suatu keinginan untuk lakukan sesuatu yang baik untuk masyarakat (Maddi, 1972). Sementara sasaran Freud yang sederhana untuk umat manusia sungguh memerlukan usaha substansiil, mereka tidak berbicara dengan fasih pada berbagai kemungkinan yang terakhir untuk pertumbuhan psikologis dan kesehatan jiwa optimal.
Kebanyakan dari ahli teori yang mengikuti Freud menciptakan model-model lebih optimis untuk kesehatan jiwa positif. Sebenarnya, ada benar-benar sejumlah perspektif-perspektif di kesehatan jiwa positif (lihat Jahoda, 1958; Coan, 1977; Schultz, 1977; Fadiman &Frager, 1994). Hanya sedikit dari perspektif-perspektif yang akan ditinjau di sini. Untuk kejelasan, perspektif-perspektif itu dikelompokkan ke dalam perspektif yang (1) mengasumsikan kebutuhan-kebutuhan bawaan dalam memandu pencarian kesehatan jiwa positif dan mereka yang (2) asumsikan kesehatan jiwa positif adalah suatu produk tentang mengembangkan ciri kepribadian spesifik atau pengembangan dari karakter. Tentu saja, dua pendekatan ini harus tidak dilihat sebagai divisi-divisi yang tegas; lebih dari itu, masing-masing mewakili; menunjukkan suatu penekanan yang relatif.
KESEHATAN JIWA POSITIF SEBAGAI POTENSI-POTENSI BAWAAN
Awal Perumusan-perumusan Psychodynamic
Adler Alfred adalah satu rekan kerja awal Freud. Bertentangan dengan Freud, Adler memfokuskan pada suatu pengejaran naluriah realisasi diri kreatif. Adler percaya bahwa realisasi diri disetir oleh satu bawaan mengejar interaksi-interaksi prosocial dan bahkan rendah hati untuk terhadap orang lain. Istilah yang paling lekat, yang dihubungkan dengan teori Adler tentang kesehatan jiwa optimal adalah Gemeinschaftsgefuhl, suatu kata Jerman yang diciptakan oleh Adler yang tidak memiliki padanan yang tepat di dalam bahasa Inggris. Itu awalnya diterjemahkan sebagai " sosial sense" dan lalu kemudiannya sebagai "interest sosial" dan "social feeling" (Adler, 1964; Ansbacher, 1992). Gemeinschaftsgefuhl adalah suatu perasaan dari suatu hubungan yang mendalam dengan manusia, empati terhadap kondisi manusia lain, dan suatu perasaan altruisme (azas mengutamakan orang lain).
Adler percaya minat sosial bisa menggerakkan seseorang terhadap suatu jenis realisasi diri yang akan tidak terelakkan termasuk empati yang lebih banyak dan rasa kasihan terhadap orang lain. Sebenarnya, Adler percaya bahwa ahli terapi bisa mengatakan jika psikoterapi sedang bekerja atau bukan dengan pengamatan berapa banyak klien termotivasi oleh minat sosial. Semakin banyak minat sosial ada pada klien, semakin baik pengobatan sedang bekerja.
Carl G.Jung adalah juga bagian dari lingkaran dalam dari para rekan kerja Freud. Jung, seperti Adler, percaya bahwa orang-orang menguasai satu potensi bawaan untuk kesehatan jiwa optimal yang perlu untuk diwujudkan. Bagi Jung, kesehatan jiwa optimal ditandai oleh suatu keseimbangan antara unsur-unsur dari kepribadian, satu keterbukaan kepada pesan-pesan dari suatu tingkatan tidak sadar yang lebih dalam, dan suatu perasaan yang tumbuh dari kerohanian (Jung, 1964, 1965).
CarlRogers dan Pribadi yang Berfungsi Secara Penuh
Carl Rogers mengembangkan teorinya tentang kesehatan jiwa dari pengalaman-pengalamannya sebagai seorang psychotherapist. Salah satu dari daya dorong yang utama dari pendekatannya untuk psikoterapi untuk menunjukkan cara yang orang-orang dimungkinkan untuk mengembangkan pendekatan mereka sendiri yang unik kepada hidup dalam konteks suatu hubungan psychotherapeutic yang mendukung.
Rogers mulai dengan mengasumsikan bahwa kita mempunyai satu bawaan yang diperlukan untuk mengembangkan potensi-potensi kita. Rogers menyebut kebutuhan ini, Kecenderungan aktualisasi diri (Rogers, 1959). Ia menganggap bahwa memberi keadaan yang benar, orang-orang dapat menemukan cara untuk memenuhi potensi-potensi mereka yang juga adalah pemenuhan tanggung jawab secara sosial dan secara pribadi. Masalahnya, menurut Rogers, adalah bahwa banyak orang kehilangan hubungan dengan dorongan-dorongan bawaan mereka terhadap aktualisasi diri. Proses kehilangan hubungan dengan kecenderungan aktualisasi diri kita sendiri mulai ketika kita menolak pengalaman-pengalaman dari kita sendiri diri sendiri dan dunia untuk mendapatkan penerimaan bersyarat dari orang-orang lain. Oleh karena itu, proses aktualisasi diri dimotori oleh kesadaran diri sendiri yang jujur. Rogers percaya bahwa ketika orang-orang ada di dalam lingkungan-lingkungan yang digambarkan oleh cinta tanpa syarat, pemahaman empathic, dan keaslian, lalu mereka dapat tumbuh secara psikologis terhadap potensi-potensi mereka yang paling penuh (lihat Firestone, Firestone, &Catlett, 2003).
Pribadi Berfungsi Secara Penuh
Bagi Rogers, definisi penyesuaian psikologis terletak di gagasan di mana kesehatan jiwa ada ketika semua pengalaman yang relevan dari orang itu dapat terintegrasi ke dalam suatu konsep diri yang koheren dan fleksibel. Ketika orang-orang menumbuhkan potensi-potensi mereka yang paling penuh, beberapa ciri-ciri yang dapat dikenal menandai adanya kemajuan mereka. Rogers memilih istilah "orang berfungsi penuh" bagi seseorang yang mencapai ideal ini (Rogers, 1961). Tiga ukuran-ukuran utama dan dua pelengkap menandai orang yang berfungsi secara penuh: (1) keterbukaan pengalaman, (2) eksistensial hidup, dan (3) kepercayaan dalam pengalaman-pengalaman organismic yang dimiliki (yaitu., sensasi-sensasi, pengalaman-pengalaman fisiologis, atau "saluran" perasaan kita). Tiga hal ini mengakibatkan (4) suatu perasaan kebebasan dan (5) kreativitas yang meningkat.
Dengan "keterbukaan pengalaman," Rogers menyarankan suatu kepribadian yang menyadari stimuli internal dan eksternal, di mana penggunaan-penggunaan dari mekanisme pertahanan terpelihara minimum. Sebenarnya, Rogers menghipotesakan bahwa mungkin untuk hidup tanpa mekanisme pertahanan. Satu konsekuensi dari keterbukaan ini adalah bahwa pengalaman-pengalaman tidak enak dan menyenangkan memungkinkn akses yang sama pada kesadaran. Seseorang harus mempunyai suatu perasaan dasar yang cukup diri sendiri sehingga dia tidak akan diliputi oleh emosi. Oleh karena itu, meski Rogers tidak secara rinci menyebutkan itu sebagai suatu ukuran, orang yang berfungsi penuh akan juga memperlihatkan ketabahan dan keberanian substansiil.
Kriteria kedua, eksistensial hidup menyiratkan bahwa orang berfungsi penuh menyukai pengalaman yang datang dari kehidupan sebagaimana hidup pada saat ini. Ukuran ini adalah serupa dengan perkataan kaum tua bahwa orang harus "berhenti dan mencium bunga mawar." Itu menyiratkan suatu orientasi proses yang kuat pada hidup. Itu menyiratkan bahwa Ia harus hidup sebagai suatu cairan dan perasaan dinamis dari kesadaran dari pengalaman-pengalaman yang ada, memutuskan apa yang akan dilakukan dengan pengalaman-pengalaman, pengambilan tindakan, dan berjalan terus untuk merencanakan pengalaman yang berikutnya (catat persamaannya dengan teori aliran di Bab 4).
Orang-orang yang terbuka pada moment adalah juga terbuka bagi isyarat yang datang dari kenyataan mereka yang fisiologis yang mereka mempercayai mereka sendiri yang organismic merasakan. Orang yang berfungsi penuh menyadari, kepercayaan-kepercayaan, dan nilai nalurinya, intuisi, dan firasat. Karena orang yang berfungsi secara penuh tidak bertahan, terbuka bagi pengalaman pada saat itu, dan berkeinginan mengalami hidup sebagai suatu proses, jelas nyata bahwa ia atau dia akan juga mengalami suatu perasaan kebebasan. Akhirnya, karena orang yang berfungsi secara penuh secara terus menerus mengadaptasikan kepada pengalaman-pengalaman yang baru, suatu derajat tingkat tertentu dari kreativitas pada adaptasi tersebut kelihatannya perlu. Kreativitas di dalam perasaan Rogers berarti suatu pendekatan ke arah hidup yang terbuka bagi cara penyelesaian masalah yang tidak biasa dan unik. Itu juga menyiratkan suatu kesediaan tertantang oleh pengalaman-pengalaman yang baru. Oleh karena itu, Rogers berkata bahwa jika orang-orang berhubungan dengan pengalaman-pengalaman mereka yang berkesinambungan dan segera pada cara tertentu, lalu kebutuhan bawaan mereka untuk ktualisasi diri akan muncul dan memotivasi perilaku.
Hidup sebagai Pribadi yang Berfungsi Secara Penuh
Seperti apa sesungguhnya orang yang berfungsi secara penuh? Rogers (1961) menyatakan beberapa petunjuk ketika ia menyatakan,
Nampak berarti bahwa individu yang bergerak ke arah, dengan sadar dan menerima; proses yang ia dalam hati dan sebenarnya adalah.... Ia tidak berusaha menjadi lebih dari dia, dengan perasaan penjaga kegelisahan; rasa tidak aman atau pasrah yang muluk-muluk. Ia tidak berusaha menjadi kurang dari ia, dengan perasaan penjaga rasa bersalah atau depresiasi diri. Ia terus meningkatkan mendengar ruang kecil yang terdalam dari mahluk secara emosional dan fisiologisnya, dan menemukan dirinya terus meningkat keinginan, dengan ketelitian dan kedalaman yang lebih besar, diri sendiri yang ia paling sungguh (hal. 175-176).
Gerakan itu adalah terhadap diri sendiri, arah, keterbukaan pengalaman, penerimaan dari orang lain, dan kepercayaan di dalam diri sendiri. Gerakan itu bukanlah terhadap setiap status tertentu. Agaknya, merupakan suatu cara pendekatan dan bahkan pengalaman-pengalaman menyongsong hidup. Lagi, kata-kata Rogers's (1961),
Nampak bagiku bahwa hidup yang baik bukanlah setiap status yang tetap. Tidak, di dalam penilaianku, suatu keadaan dari kebaikan, atau kepuasan, atau surga, atau kebahagiaan. Ia bukan suatu kondisi di mana individu disesuaikan, atau dipenuhi, atau diwujudkan. Menggunakan terminologi psikologis, itu bukan suatu keadaan reduksi panduan, atau tegangan, pengurangan, atau homeostasis (hal. 185-186).
Rogers kelihatannya menguraikan seseorang yang dapat menyeimbangkan rasionalitas dan intuisi tetapi yang menunjukkan suatu pilihan yang sedikit untuk gaya yang intuitif tentang pemahaman dunia. Gagasannya tentang kesehatan jiwa optimal meminjam dari gambaran dari seniman yang kreatif ( lihat "orang yang kreatif" di Bab 7).
Abraham Maslow dan Actualisasi Diri
Teori yang berikutnya untuk dibahas adalah Teori Abraham Maslow Aktulisasi diri. Secara umum, aktualisasi diri mengacu pada proses tentang berbuat sesuai dengan potensi-potensinya. Meski teori Maslow tentang aktulisasi diri adalah salah satu dari teori-teori paling terkenal dari pengembangan kepribadian, ini juga secara luas salah pengertian bahkan dalam psikologi. Sebagai contoh, teori nya tidak ada hubungannya dengan memanjakan diri sendiri atau keasyikan dengan diri sendiri aslinya, Maslow (1954) menyatakan perwujudan diri itu "bisa dengan bebas digambarkan sebagai penggunaan dan eksploitasi bakat-bakat, kapasitas, kemampuan-kemampuan" (hal. 200).
Studi-studi awal Orang yang Mengaktualisasi Diri
Menurut Maslow, aktualisasi diri tidak menguraikan suatu keadaan tetapi lebih satu proses yang berkesinambungan dari pengembangan. Ia mulai dengan suatu pertanyaan tentang bagaimana sebagian orang kelihatannya melakukan penyesuaian secara luar biasa dengan baik. Untuk mendekati pertanyaan ini, ia mulai mencari-cari lembaran-lembaran dari orang-orang kesehatan mental optimal yang menunjukkan tanda-tanda memenuhi potensi-potensi mereka. Siapa ini orang-orang yang memberikan contoh proses aktualisasi diri? Mereka tidak, di dalam setiap perasaan, orang kebanyakan tidak jalan. Untuk mendapat suatu rasa untuk sifat pilihan dari calon-calonnya, satu hal hanya harus memperhatikan bagaimana beberapa figur sejarah di dalam sistem klasifikasi ini. Bagi Maslow "secara wajar yakin mereka adalah pengaktualisasi diri" mencakup Abraham Lincoln (hanya dalam tahun terakhir) dan Thomas Jefferson; "kelompok sangat mungkin" mencakup Eleanor Roosevelt dan Albert Einstein; Beethoven dan Freud di dalam kelompok "parsial"; sedangkan George Washington Carver dan Albert Schweitzer ia tempatkan dalam kelompok "potensial". Sebagai tambahan dalam mempelajari figur-figur publik untuk bukti aktualisasi diri, orang-orang terkenal dalam sejarah, dan kenalan-kenalan, Maslow juga menyaring tiga ribu siswa perguruan tinggi. Di dalam kelompok ini, ia hanya temukan seseorang yang cocok dengan ukuran-ukurannya dan orang tersebut hanya dalam ktegori "yang mungkin". Ia menyimpulkan aktualisasi diri itu "bukan mungkin di dalam masyarakat kita bagi orang muda, orang-orang yang berkembang" (Maslow, 1954, hal.200).
Ia percaya bahwa seseorang perlu beberapa pengalaman hidup sebelum ia atau dia bisa dipertimbangkan sebagai aktualisasi diri. Kemudian, Maslow akan menaksir itu kurang dari 1 persen dari populasi orang dewasa bisa disebut orang-orang yang aktualisasi diri. Maslow mengembangkan definisinya tentang aktualisasi diri melalui satu proses iteratif. Yang pertama ia memilih subjek, lalu ia mengevaluasi orang-orang, dan berikutnya ia menyesuaikan definisi asli berdasar pada evaluasi yang pertama. Lalu diikuti dengan memilih kelompok yang berikutnya ia mengevaluasi berdasar pada definisi yang ditinjau kembali, dan seterusnya. Menggunakan proses ini, Maslow's (1954) lebih memperluas penjelasan aktualisasi diri, " sebagai orang-orang yang memenuhi diri mereka dan untuk sedang lakukan terbaik yang mereka bisa berbuat melakukan, mengingatkan kita nasihat Nietzsche, 'Jadi apa engkau!' Mereka adalah orang-orang yang sudah berkembang atau mengembangkan sepenuhnya kualitas moral yang mana mereka mampu. Kemampuan-kemampuan ini bisa seluruh jenis atau yang idiosyncratic, sehingga diri sendiri di dalam aktualisasi diri harus tidak terlalu selera individualistic" [tambahan huruf miring] (hal. 201). Bagian dari kutipan akhir ini ditulis dengan huruf miring untuk menekankan itu, benar dari awalnya, Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan serapan diri atau individualisme berlebihan. Kemudian, banyak para interpreter Maslow melupakan ini.
Hirarki Maslow Tentang Kebutuhan-kebutuhan Bawaan
Begitu Maslow telah mengenali contoh-contoh dari orang yang mengaktualisasi diri, ia mulai mengembangkan suatu teori dari pengembangan kepribadian yang akan menjelaskan bagaimana orang-orang itu menempuh cara mereka. Ia mengusulkan suatu teori yang didasarkan pada satu gagasan secara relatif umum di dalam psikologi waktu itu - pengujian kebutuhan dasar.
Maslow (1954) pada awalnya menggambarkan lima kebutuhan dasar manusia yang harus dijumpai dalam urutan orang-orang merasa terpenuhi dalam hidup. Secara grafis, Maslow kenalkan kebutuhan-kebutuhan ini berupa suatu piramida (Gambar 8.2). Bentuk piramid menunjukkan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah lebih menyebar dan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi lebih kecil dan lebih dengan mudah diliputi oleh pengaruh dari kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah.
Maslow mengasumsikan lima kebutuhan dasar yang bersifat bawaan.
1. Phisiologis. Orang-orang perlu untuk memiliki kebutuhan dasar mereka mendapatkan makanan, tempat perlindungan, kenyamanan, dan kebebasan dari penyakit.
2. Keselamatan dan keamanan. Orang-orang perlu untuk percaya bahwa mereka secara relatif menyelamatkan dari kejahatan secara fisik dan kekacauan masyarakat dan bahwa mereka mempunyai beberapa derajat tingkat dari kendali atas masa depan mereka sendiri.
3. Cinta dan rasa memiliki. Orang-orang perlu untuk merasakan koneksi-koneksi kepada dunia yang sosial dan perlu untuk merasa bahwa mereka dicintai dan yang dibelai karena mereka adalah sebagai individu.
4. Mengagumi diri sendiri. Orang-orang perlu merasakan suatu perasaan kemampuan dan prestasi dan bahwa mereka terhormat dan dihargai oleh orang lain di dalam hidup mereka.
GAMBAR 82
Hirarki Kebutuhan dasar Maslow
5. Actualisasi diri. Orang-orang mempunyai suatu kebutuhan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka yang unik.
Maslow (1954) juga mendalilkan prasyarat-prasyarat tertentu yang penting bagi kepuasan kebutuhan dasar: kebebasan-kebebasan spesifik (yaitu., kebebasan untuk bicara, ekspresi, pemeriksaan) dan prinsip etis yang penting (yaitu., keadilan, kewajaran, jujur), ketertiban). Ia juga percaya bahwa perlu untuk mengetahui dan memahami bentuk suatu detik, hirarki kebutuhan yng lebih kecil yang sinergis dan saling berhubungan dengan hirarki basic-needs. Akhirnya, Maslow menyatakan sebagian orang itu mempunyai suatu kebutuhan dasar untuk ekspresi aesthetic. Untuk ini orang-orang (seperti, seniman-seniman kreatif), kegagalan itu untuk mencukupi kebutuhan mereka untuk kreativitas dan kecantikan menimbulkan perasaan bosan, kebosanan, dan tidak berarti.
Maslow percaya bahwa empat pertama kebutuhan harus dijumpai di suatu arena dengan urutan relatif. Bagaimanapun, adalah tidak perlu untuk mendapati masing-masing kebutuhan secara penuh sebelum berjalan terus untuk perhatian-perhatian dari kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya. Untuk ilustrasi, Maslow (1954) menyatakan bahwa seseorang mungkin telah mencukupi 85 persen dari kebutuhan-kebutuhan fisiologis, 70 persen dari keselamatan, 50 persen kebutuhan-kebutuhan pemilikan, 40 persen dari kebutuhan kebanggaan diri, dan 10 persen kebutuhan aktualisasi diri.
Motivasi Menurut Maslow
Empat langkah adalah adalah juga didasarkan pada apa yang Maslow sebutkan keperluan defisit atau D-needs. Jika D-needs itu tidak dijumpai, lalu kita termotivasi oleh suatu perasaan bahwa kita kekurangan kualitas yang penting bagi penyesuaian dasar psikologis. Dalam hal ini, kita kekurangan perasaan yang positif dari diri sendiri, suatu perasaan bahwa kita dicintai, atau suatu rasa aman yang memungkinkan optimisme untuk masa depan. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak dijumpai dengan memuaskan, maka kepribadian pondasi dasar dan penyesuaian belum dibangun. Begitu satu merasa secara relatif aman, terhubung dengn orang lain, dicintai, dan punya suatu rasa hormat yang baik sebagai manusia, lalu kebutuhan akan aktualisasi diri menjadi lebih penting. Bagaimanapun, kebutuhan ini menciptakan suatu tegangan baru, yang datang dari perbedaan antara siapa diri kita dan siapa kita yang kita dapat bayangkan. Karena kita mengakui adanya potensi-potensi kita tidak direalisir, jarak ini antara kenyataan dan potensi yang menghasilkan suatu keinginan untuk memenuhi potensi kita.
Istilah Maslow untuk kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan-kebutuhan sekeliling berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya atau B-needs. Sebagian dari B-needs itu adalah kebenaran, keadilan, kecantikan, keseluruhan, kesempurnaan, suka melucu, penuh arti, dan kebaikan (Maslow, 1968, 1971). Satu karakteristik yang unik dari orang-orang actualisasi diri adalah mereka termotivasi oleh B-needs lebih dari yang D-needs. Maslow (1954) berkata, "Hal-hal kita tidak lagi bekerja keras di dalam perasaan yang biasa, mereka berkembang." (hal. 211). Catat bahwa aktualisasi diri dan B-needs muncul di dalam seseorang yang telah menemukan adaptasi dan penyesuaian sehat secara relatif. Oleh karena itu, bagian dari tegangan yang diciptakan oleh kebutuhan akan perwujudan diri datang dari suatu konflik antara keamanan kebahagiaan yang ada dan resiko dari perubahan. Maslow melihat pilihan sebagai suatu konflik yang umum jenis ini dalam hidup yang menggambarkan suatu prinsip yang umum: tegangan antara keamanan melawan pertumbuhan. Bagi Maslow, orang aktualisasi diri adalah, yang ditandai oleh suatu kesediaan untuk mengambil resiko keamanan yang dikenal dan nyaman untuk pertumbuhan yang potensial bahwa dapat datang dari mendatangi suatu tantangan yang baru. Oleh karena itu, ia percaya bahwa percaya bahwa orang-orang aktualisasi diri dimotivasi oleh B-needs. Mereka adalah, dalam beberapa hal menarik terhadap suatu masa depan yang mungkin untuk sendiri yang di dalam banyak cara yang digambarkan oleh kebutuhan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka yang unik seperti juga kebutuhan untuk kebenaran, keadilan, kecantikan, dan B-needs lain.
Orang-orang yang mengaktualisasi juga mengakui, menerima, dan boleh benar-benar; menganut, tegangan-tegangan yang diciptakan oleh B-needs yang tidak tercukupi. Respon mereka kepada tegangan-tegangan ini adalah, lebih sering daripada tidak, kepada resiko keamanan yang ada yang terbiasa dan untuk mengambil resiko kegagalan yang mungkin dalam percobaan untuk mewujudkan potensi-potensi mereka.
Maslow juga mengetahui bahwa beberapa orang menolak perubahan pertumbuhan pribadi karena mereka takut akan orang lain di dalam hidup mereka tidak akan menerima perubahan itu. Maslow (1971) menyebut ketakutan ini, kompleks Jonah (Yunus). Nelson Mandela berbicara tentang ketakutan ini di dalam sambutan pelantikan presiden di Afrika Selatan.
Ketakutan kita yang terdalam bukanlah karena kita tidak cukup. Ketakutan kita yang terdalam adalah bahwa kita luar biasa tangguh. Itu adalah cahaya kita, bukan kegelapan kita yang menakutkan kita. Kita tanya diri kita sendiri, "Siapa Saya yang cemerlang, berbakat dan menakjubkan?" Sebenarnya, siapakah engkau yang tidak? Anda adalah seorang Anak Allah. Permainan kecilmu tidak melayani dunia. Tidak ada apapun meringankan penyusutan sehingga orang lain tidak akan merasakan tidak kuat di sekitar Anda.... Dan ketika kita biarkan kilauan kita yang ringan, kita tanpa disadari memberi ijin orang lain untuk lakukan yang sama.
Seperti yang tersebut sebelumnya, Maslow mengira bahwa hanya persentase kecil dari populasi itu bisa mengatur untuk mengaktualisasi diri sendiri di suatu dasar yang konsisten. Bagi mereka yang memanagenya, akan jadi apa mereka?
Ciri kepribadian Orang-orang yang Mengaktualisasi Diri
Di dalam studi dari aktualisasi diri sendiri, orang-orang, Maslow meringkas lima belas ciri kepribadian yang ia percaya adalah karakteristik dari perilaku mereka. Tidak setiap orang yang mengaktualisasi diri yang ia pelajari menunjukkan semua lima belas tanda-tanda ini. Oleh karena itu, daftar itu adalah suatu alat yang bermanfaat, bukan suatu daftar yang kaku, selama satu pemahaman betapa orang-orang aktualisasi diri saling berhubungan dengan dunia dan sendiri. Maslow juga mengenal bahwa subjeknya tidaklah sempurna. Mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari rasa bersalah, ketertarikan, kesedihan, atau konflik. Ia merasakan memaksa untuk mengingatkan orang-orang bahwa subjeknya "bukanlah para malaikat." Sebagian terbesar, bagaimanapun, mereka bebas dari ketertarikan-ketertarikan penderita sakit saraf dan konflik-konflik. Dengan pemikiran ini, Maslow (1954) perkenalkan daftar lima belas ciri kepribadian orang-orang yang aktualisasi diri. Untuk jelasnya, lima belas ciri dikelompokkan ke dalam empat kategori.
Pertama adalah keterbukaan pengalaman.
1. Persepsi lebih efisien dari kenyataan dan hubungan-hubungan lebih nyaman dengannya.
Maslow percaya bahwa orang yang mengaktualisasi diri sendiri mempunyai suatu perasaan yang tajam untuk penipuan, ketidak jujuran, dan kedangkalan pada orang lain. Karena mereka sudah mantap dengan banyak pertanyaan-pertanyaan tentang kekaguman diri, mereka lebih mampu merasa dunia tanpa penyimpangan pengubahan dari berbagai keinginan mereka sendiri, harapan-harapan, dan ketertarikan-ketertarikan. Mereka dapat memandang dunia tanpa ilusi-ilusi yang positif atau penyimpangan pertahanan.
2. Penerimaan (diri sendiri, orang lain, alam)
Itu mengikuti secara logika bahwa orang yang mengaktualisasi diri perlu juga menjadi lebih baik mampu mendeteksi penipuan, kelemahan, dan kekurangan-kekurangan di dalam sendiri. Sikap terhadap kekurangan-kekurangan ini membedakan orang-orang orang yang mengaktualisasi diri Maslow. Ia berkata, "Individu kita yang sehat menemukannya mungkin untuk menerima diri mereka dan sifat mereka sendiri tanpa perasaan sedih karena gagal atau keluhan atau, sebetulnya, bahkan tanpa banyak berpikir tentang perihal. Mereka dapat menerima sifat manusia mereka sendiri dengan gaya orang yang tabah, dengan semua kekurangannya, dengan semua pertentangannya dari gambaran ideal tanpa perhatian perasaan riil" (1954, hal. 206-7). Ia juga berkata bahwa orang yang mengaktualisasi diri mempunyai kurangnya kepasrahan. Ketika mereka merasa berdosa atau dysphoric, itu adalah dari pengenalan pertentangan antara apa dan apa yng seharusnya bisa.Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan yang tidak bisa dipisahkan di dalam umat manusia dan dengan sangat sadar akan berapa jauh pendek kita jatuh.
3. Kesegaran apresiasi yang berlanjut
Karakteristik ini menguraikan satu keterbukaan hidup, kegembiraan, dan suatu terima kasih atas moment pengalamani. Menurut Maslow ( 1954), orang-orang aktualisasi diri mempunyai kapasitas yang luar biasa untuk menghargai berulang-ulang, baru saja dan dengan naif, barang-barang dasar kehidupan dengan perasaan kagum, kesenangan, keajaiban, dan bahkan perasaan sangat gembira, bagaimanapun basi pengalaman-pengalaman ini mungkin telah menjadi untuk orang lain" (hal. 214-215).
4. Spontanitas
Maslow juga menemukan subjeknya lebih spontan dibanding orang lain. Mereka menunjukkan perilaku yang ditandai oleh kesederhanaan, kewajaran, dan kurangnya kepalsuan. Ini tidak berarti perilaku mereka diluar kebiasaan, dan itu pasti bukan sangat menuruti kata hati. Ringkasnya, Maslow bermaksud subjeknya itu bukan congkak maupun membual tapi lancar dan alami.
5. Daya kreasi
Maslow menunjuk kreativitas sebagai proses lebih dari produk. Kreativitas ia lihat sebagai keaslian, dayatemu, kemampuan beradaptasi, dan spontanitas di dalam solusi permasalahan besar dan yang kecil.
6. Pengalaman batin; perasaan yang luas
Maslow (1976) kemudian menguraikan moment ringkas tenang kesadaran yang dipertinggi dan emotionalas positif kuat sebagai "pengalaman puncak." (Mereka akan dibahas secara lebih detil di Bab 10.)
Kategori yang kedua, adalah otonomi.
7. Otonomi; kemerdekaan budaya dan lingkungan
Subjek Maslow juga sepertinya secara relatif disatukan. Mereka mengagumi diri sendiri tidak didasarkan pada bagaimana pemikiran orang lain tentang mereka atau secara kultural menggambarkan kriteria untuk sukses. Mereka bisa tinggal stabil, bahkan berbahagia dan tenang, di tengah-tengah frustrasi-frustrasi dan sesuatu yang bikin stress. Mereka menemukan kepuasan-kepuasan yang hakiki dibanding bersandar keadaan luar yang merespon dari orang lain.
8. Kualitas Detasemen; kebutuhan untuk privasi
Maslow percaya bahwa subjeknya menunjukkan suatu kecenderungan yang jelas untuk menyenangi kesunyian dan privasi. Mereka tidaklah yang tak ramah, tetapi mereka tidak memerlukan orang-orang di sekitar mereka terus menerus. Di dalam konteks ini, Maslow juga menyebutkan suatu kemampuan yang lebih besar untuk berkonsentrasi dan suatu kualitas detasemen yang memungkinkan mereka untuk "tetap di atas pertempuran, tetap tenang, tak terganggu oleh huru-hara" ( 1954, hal.212).
9. Daya tahan kulturisasi
Maslow (1954) memulai uraiannya dari kriteria ini dengan kalimat sangat propokatif, "orang-orang yang mengaktualisasi diri tidak menyesuaikan dengan baik" (hal. 224). Dengan ini, ia bermaksud bahwa subjeknya sepertinya akan mampu memelihara suatu detasemen tertentu dari budaya di mana mereka tinggal. Mereka tinggal di masyarakat mereka, biasanya tanpa pemberontakan atau ketidakbiasaan yang terus menerus, hanya sikap-sikap dan kepercayaan-kepercayaan bagian dalam yang tidak dibentuk dan dikuasai oleh pesan-pesan dari masyarakat itu. Mereka mampu memperhatikan budaya mereka lebih secara obyektif dan melihat pertentangan-pertentangan, ketidakkonsistenan, dan kesalahan yang eksis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar